Tidak hanya sekadar berwisata, tapi bertualang sambil menggali beragam pengalaman ke berbagai tempat. Barangkali itulah maksud dari kalimat don't be just a tourist, but be a traveller, a la kami.
Ini adalah bagian pertama sekelumit rangkuman catatan perjalanan bersama keluarga, dari rangkaian pengalaman 5 hari 4 malam menjadi warga di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil.
Perjalanan ini dimungkinkan karena kebijakan pemerintah yang memberikan kebijakan libur panjang dan cuti bersama sehubungan dengan perayaan Idul Fitri 1443 H/ tahun 2022 ini.
Tidak ada jalan yang lebih baik dan lebih efektif untuk bertualang sekaligus merasakan sensasi pengalaman menjadi "warga" di tempat tujuan, selain langsung merasakan keseharian mereka dengan menginap di rumah-rumah warga, memakan apa yang mereka makan, dan menjalani apa yang menjadi kebiasaan mereka. Berikut ulasannya.
1. Tentang Pulau Banyak
Bisa dikatakan bahwa penamaan Pulau Banyak memang terkait dengan banyaknya pulau yang merupakan satu kawasan yang menjadi salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil.
Ibu kotanya berada di Pulau Balai, yang terdiri atas dua kampong atau wilayah setingkat desa, yakni kampung Pulau Baguk dan Pulau Balai, dengan jumlah penduduk lebih kurang 8.000 jiwa.
- Pulau Balai;
- Pulau Sikandang;
- Pulau Biawak
- Pulau Asok;
- Pulau Lambudung;
- Pulau Panjang;
- Pulau Rangit;
- Pulau Palambak;
- Pulau Malelo;
- Teluk Nibung; dan
- Tebing Ratu.
Dari Kabanjahe, Kabupaten Karo, ke pelabuhan feri di Kabupaten Singkil kami membutuhkan waktu perjalanan sekitar 8,5 jam. Berangkat pada Jumat, 29 April 2022 sekitar pukul 21.30 WIB, kami tiba di pelabuhan feri Singkil pada Sabtu, 30 April 2022, pukul 06.13 WIB.
Kami mengejar jam keberangkatan feri untuk menyeberang ke Pulau Balai yang direncanakan berangkat pukul 8.30 WIB.Â
Sebenarnya untuk menyeberang tidak harus menggunakan feri, ada juga moda perahu kayu dengan hari dan jam keberangkatan yang lebih fleksibel, tidak seperti feri yang tidak setiap hari dan dengan jam tertentu.
Kami memutuskan menggunakan feri karena merasa lebih terjamin dari sisi keselamatan karena berangkat dengan keluarga.
Tiba lebih awal di pelabuhan dari rencana awal jadwal penyeberangan, nyatanya feri yang dijadwalkan berangkat pukul 8.30 WIB, akhirnya berangkat sekitar pukul 9.30 WIB. Kami tiba di pelabuhan pulau Balai pada pukul 14.05 WIB.
Â
Ada beragam penyesuaian yang harus kita terapkan manakala bertandang ke suatu tempat. Begitulah petuah terkenal "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" perlu tetap dipegang karena masih tetap relevan mengikuti perkembangan zaman.
Kebetulan karena awal liburan panjang ini masih dalam suasana bulan puasa Ramadan, maka bagi yang tidak berpuasa, baik dengan alasan sebagai musafir karena melakukan perjalanan panjang, maupun karena tidak menjalankan ibadah puasa terkait perbedaan keyakinan, kita perlu mengikuti kebiasaan setempat sehubungan dengan ibadah keagamaan. Sekalipun di destinasi wisata.
Sarapan di dalam bus untuk menghargai saudara yang berpuasa adalah salah satu bentuk penyesuaian itu.
Selain itu, di tempat tujuan di mana saja, kita perlu bertanya ke pemandu atau warga setempat, tentang apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan, sehingga kehadiran kita lebih mudah diterima.
4. Memakan Apa yang Mereka Makan
Barangkali ada banyak tempat wisata, terutama kelas premium, yang menawarkan aneka kenyamanan dan kepuasaan selama perjalanan. Tentu saja hal ini sebanding juga dengan harga dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya.
Namun, selalu ada sisi baik dalam sebuah penyesuaian yang tidak melulu demi alasan ekonomi semata. Seperti dikatakan sebelumnya, cara terbaik merasakan menjadi warga setempat salah satunya adalah dengan memakan apa yang mereka makan dan apa yang disediakan.
Tentu tidak semua sajian di tempat tujuan sesuai dengan selera kita di tempat asal kita. Ada kelebihan dan kekurangan, tapi coba nikmati saja apa yang disajikan sesuai dengan tingkat kemampuan, niscaya kita akan lebih cepat beradaptasi dengan keadaan di tempat tujuan kita.
5. Menikmati Tinggal di Rumah Warga Setempat
Barangkali tidak akan terlalu berbeda jauh jumlah biaya yang dikeluarkan dengan lama tinggal yang lebih singkat agar kita bisa menginap di sebuah resor mewah.
Namun, pengalaman menjadi warga setempat lebih mudah didapatkan bila kita tinggal di antara masyarakat di rumah-rumah mereka.
Di Pulau Balai, yang merupakan pulau yang dihuni masyarakat setempat di Pulau Banyak dan merupakan kampong, banyak rumah warga yang juga difungsikan sebagai homestay.
Rumah-rumah sederhana ini, umumnya terbuat dari papan, sebagian dari beton, dan disewakan dengan harga yang cukup murah. Sebuah homestay dengan 6 kamar yang masing-masing kamarnya dapat memuat satu keluarga disewakan hanya sekitar Rp350.000/malamnya.
Tentu akan lebih praktis bila kita tidak menghitung komponen-komponen biaya perjalanan secara terpisah, mulai dari biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, tiket masuk kawasan wisata, dan aneka pernak-pernik perjalanan lainnya.
Ada berbagai tawaran paket perjalanan wisata ke Pulau Banyak. Kita hanya perlu menyesuaikan dengan selera dan isi kantong kita masing-masing, dan juga memeriksa jasa atau agen perjalanan yang memfasilitasi keberangkatan serta perjalanan kita adalah pihak yang dapat dipercaya.
Namun, ada banyak kebaikan bila kita menggunakan jasa agen perjalanan dari masyarakat setempat yang lebih memahami tempat tujuan perjalanan kita.
Kepercayaan kita kepada mereka turut menggerakkan roda ekonomi masyarakat pelaku pariwisata, terutama setelah sempat terpuruk selama dua tahun terakhir akibat pandemi global.
Di samping itu, kita tentu saja dapat merasakan langsung sensasi berbeda ketika menjadi warga pulau. Di sana, di Pulau Banyak yang masih menyimpan begitu banyak pesona bagian alam Nusantara.
Ulasan di masing-masing tempat tujuan wisata selanjutnya akan kita bahas pada pertemuan kita yang selanjutnya.
Salam wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H