Penampilan seni topeng dalam gundala-gundala di Tanah Karo pada masa dahulu kala biasanya ditampilkan pada upacara adat seperti memanggil hujan, di samping sebagai hiburan bagi raja-raja. Penampilannya cenderung kepada bentuk teater di ruang terbuka yang isinya menggambarkan tentang falsafah kehidupan, ditampilkan secara estetis dengan iringan musik dan lagu tradisional.
Gundala-gundala adalah sebutan untuk seni topeng yang terdapat pada masyarakat Karo. Lebih spesifik seni topeng yang kita lihat kali ini adalah gundala-gundala yang disebut juga tembut-tembut yang berasal dari desa Seberaya, Tanah Karo.
Penjelasan tentang gundala-gundala ini penulis dapatkan dari muatan pada buku pustaka wisata budaya "Seni Patung Batak dan Nias" yang ditulis oleh M. Saleh, BA, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980/1981. Buku ini merupakan proyek media kebudayaan direktorat jenderal kebudayaan.
Buku pustaka wisata budaya ini bertujuan untuk merekam dan menyebarluaskan informasi tentang aneka ragam kebudayaan Indonesia, khususnya yang menampilkan aspek wisata budaya, serta meningkatkan perhatian, minat, dan apresiasi masyarakat terhadap obyek atau sesuatu yang mempunyai potensi sebagai objek wisata budaya.
Topeng adalah salah satu bagian dari seni patung yang berkaitan dengan kebutuhan spiritual sebagai sarana kepercayaan kepada nenek moyang. Oleh karenanya topeng-topeng itu selalu menyertai pelaksanaan upacara-upacara adat.
Kalau seni patung berkaitan dengan gambaran tentang nenek moyang atau para leluhur yang mempunyai kekuatan magis, maka seni topeng berkaitan dengan nilai simbolis.
Asal Mula topeng pada Suku Karo
Dikutip dari penjelasan buku "Seni Patung Batak dan Nias", kehadiran seni topeng di Tanah Karo usianya belumlah terlalu lama. Gundala-dundala dikenal pertama kalinya pada tahun 1905, sebagaimana diceritakan oleh almarhum Pirei Depari kepada pewawancara, J. Tarigan, yang dikutip pada buku di atas.
Menurutnya, seni topeng yang terdapat di daerah Simalungun, Tapanuli, Pakpak, dan Karo, sama halnya dengan seni topeng yang terdapat di daerah-daerah lain di Indonesia sebagian besar terkait dengan pengaruh kebudayaan Tiongkok.
Seni topeng gundala-gundala masih dapat kita temui pada banyak tempat di Kabupaten Karo hingga kini. Namun demikian, fungsi dan kegunaanya sudah terlepas dari fungsi awalnya pada masa lalu.
Desa-desa di Tanah Karo yang tercatat memiliki riwayat tentang kesenian gundala-gundala ini di antaranya desa Sukanalu, desa Juma Padang, desa Guru Singa, desa Seberaya, desa Kubu Colia, dan desa Lingga.
Gaya Seni Tembut-Tembut Seberaya Karya Pa Terupung
Kita tidak akan mengulas secara panjang lebar tentang ciri khas gundala-gundala dari setiap desa yang berbeda. Kita akan membatasi corak gundala-gundala pada tembut-tembut Seberaya seperti judul tulisan ini.
Pertunjukkan tari topeng tradisional Karo dalam gundala-gundala ini dilakonkan oleh para pemainnya dengan gaya komedi tanpa dialog. Pemainnya ada lima orang yakni yang berperan sebagai raja/ panglima, permaisuri (kemberahen, bhs. Karo), putri raja, menantu raja (kela, bhs. Karo), dan musuh (manuk si gurda-gurdi).
Dari hasil ciptaan Pa Terupung yang terkenal dengan seni topeng Seberaya, kita mendapati beberapa pengertian simbolik dari gundala-gundala secara berturut-turut sebagai berikut (sebagaimana gambar di atas).
1. Topeng raja (panglima)
Wama hitam yang disapukan pada wajah topeng merupakan manifestasi yang memberikan kesan magis dan menakutkan, sedangkan pada bagian gigi yang ompong dengan alis, kumis, dan jenggot yang memutih adalah simbol ketuaan.
Topeng raja (panglima) ini digambarkan sebagai seorang raja yang sudah lanjut usia. Rambut, alis, kumis, dan jenggot ditempel dengan bulu kambing putih, sedang giginya dibuat ompong.
Ekspresi wajah memberi kesan kekerasan watak dan kekuasaan serta ketegangan emosi yang kuat.
2. Topeng kemberahen (permaisuri)
Pada topeng ini kita melihat ekspresi wajah karakter tokoh permaisuri raja yang berbudi luhur. la mengagumi suaminya sebagai panglima yang dapat menaklukan seekor burung yang ganas.
Meskipun bisa dijinakkan akhirnya burung kesayangan putri raja itu terpaksa dibunuh, karena putri raja hampir menjadi mangsa burung yang ganas itu.
3. Topeng putri raja
Sapuan warna kuning pada wajah topeng wanita dan perhiasan seperti anting-anting serta gigi yang kelihatan masih sempurna adalah lambang kecantikan dari seorang wanita. Topeng ini memperlihatkan ekspresi wajah yang lemah lembut, luwes dalam sikap, dan periang.
Putri raja digambarkan melalui topeng yang dilengkapi dengan perhiasan anting-anting (kudung-kudung)Â sehingga kelihatan sebagai putri raja yang manis.
4. Topeng kela (menantu raja)
Pada topeng ini kita melihat perwatakan seorang laki-laki yang patuh dan setia pada titah raja. Ekspresi wajah topeng kelihatan penuh ketenangan tapi berwibawa.
5. Manuk Si Gurda-Gurdi
Manuk si gurda-gurdi (burung enggang) adalah lambang kejahatan, oleh karena itu harus dimusnahkan. Menurut legenda Karo, Manuk Si Gurda Gurdi adalah sejenis burung raksasa pemakan manusia.
Bentuk paruhnya menyerupai paruh burung raksasa, dengan ekor yang cukup panjang. Burung ini dalam lakon dapat digerakkan oleh pelakonnya sendiri.
Bagian-bagian lain selain topeng sebagai penutup muka, terdapat patung tangan yang terbuat dari bahan kayu dengan posisi jari dibentuk lurus.
Bahan Pembuatan Gundala-gundala
Bahan-bahan yang dipakai terdiri dari bahan kayu keras yang disebut kayu sangketten. Untuk pembuatan paruh burung Manuk Si Gurda-Gurdi dibuat dengan bahan kayu yang sama, sedangkan kerangka badan burung yang muat untuk satu orang terbuat dari bahan bambu. Kerangka tersebut ditutup dengan kain dan diberi lapisan yang terbuat dari ijuk.
Gundala-gundala terbuat dari kayu bulat yang diukir sesuai dengan kebutuhan. Bagian dalam dibuat berlubang agar muat dimasukkan ke kepala orang dan dibuat setipis mungkin sehingga tidak terlalu berat.
Setelah itu kayu tersebut dipahat atau ditatah sedemikian rupa sehingga menyerupai wujud wajah manusia. Topeng-topeng itu mewakili sifat perwatakan menurut peran yang dibawakan oleh jenis topeng itu.
Dengan demikian lakon atau cerita tergambar melalui ekspresi wajah topeng-topeng yang ditampilkan. Ada wajah yang manis, yang gagah, sedih, dan menyeramkan.
Gundala-gundala Sebagai Seni Pertunjukan Kini
Pementasan gundala-gundala dengan gaya teatrikal di ruang terbuka dilaksanakan secara sederhana tanpa embel-embel dekorasi. Penyajiannya di hadapan umum diatur adegan demi adegan sedemikian rupa tanpa dialog.
Pementasan gundala-gundala (tembut-tembut Seberaya) dimainkan dengan cara ditarikan. Musik tarian diiringi dengan gendang yang disebut gendang lima sendalanen yang terdiri dari sarunai, gendang, gendang penganak, gung, penganaki (gung kecil) atau canang.
Lagu pengiring untuk pertunjukkan gundala-gundala ini terdiri dari lagu persentabin (tari persembahan untuk roh leluhur nenek moyang), lagu persembahan kepada pengetua adat/raja adat, lagu perang-perang, lagu tak tergut, dan lagu perang tua-tua (lagu penutup).
Kisah Cerita dalam Lakon Gundala-Gundala
Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Tanah Karo dipimpin oleh seorang raja yang didampingi seorang permaisuri. Keluarga kerajaan ini sangat berbahagia dengan kehadiran seorang putri yang sangat cantik.
Ada seekor burung peliharaan dan kesayangan putri raja bernama Manuk Si Gurda-Gurdi. Ini adalah sejenis burung enggang dengan ekornya yang panjang. Burung  yang menarik perhatian semua orang ini menambah keceriaan keluarga raja.
Karena keanggunan Manuk Si Gurda-Gurdi terbersit keinginan sang putri raja untuk memamerkannya dalam sebuah pesta besar. Sang putri ingin mengajak burung ini menari bersama diiringi musik, dengan begitu ia bisa bebas membelainya.
Sang putri pun mengutarakan niatnya dan meminta izin raja serta permaisuri. Raja dan permaisuri mengabulkan permintaan sang putri, lalu mengundang semua rakyat kerajaan untuk menghadiri pesta itu sesuai permintaan sang putri.
Dalam kemeriahan pesta terjadilah satu hal yang sangat dipantangkan oleh Manuk Si Gurda-Gurdi. Ekornya yang panjang tidak boleh disentuh karena akan mengakibatkan kemarahan yang fatal dari Manuk Si Gurda-Gurdi. Tidak ada yang tahu dengan pantangan itu kecuali raja dan permaisurinya.
Semua orang bersuka cita, bersorak-sorai, menari bersama menikmati alunan musik. Sang putri yang larut dalam kesenangan memegang ekor Manuk Si Gurda-Gurdi. Akibatnya pesta menjadi kacau karena Manuk Si Gurda-Gurdi marah dan mengganas.
Sang putri dikejar oleh Manuk Si Gurda-Gurdi seakan ingin membunuhnya. Putri berlari mendekati sang raja dan permaisuri untuk berlindung di belakang mereka.
Raja dengan kesigapan dan kegagahannya berusaha melindungi keluarganya dari serangan Manuk Si Gurda-Gurdi. Manuk Si Gurda-Gurdi menyerang tapi raja pun tetap mempertahankan diri dan keluarganya.
Pada masa kini kesenian topeng gundala-gundala ini diperuntukan bagi keperluan pertunjukan hari-hari besar nasional di samping keperluan hiburan rakyat pada pelaksanaan acara-acara kebudayaan di Tanah Karo. Salah satunya adalah saat menyambut hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus setiap tahunnya.
Gundala-gundala atau tembut-tembut Seberaya, sebagaimana seni rakyat lainnya lahir atas dorongan metafisik yang kompleks dan atas dasar kesadaran kolektif. Selain bersifat sakral dalam melakukan upacara-upacara, kesenian rakyat memainkan peranan penting, bahwa nilai-nilai yang terjalin di dalamnya merupakan refleksi dari cara hidup sehari-hari sekalipun mungkin bersumber dari mitos-mitos.
Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H