Artefak Berupa Patung Kematian dalam Tradisi Pekualuh Seberaya
Model patung dan perahu kematian dalam Tradisi Pekualuh Seberaya terkait dengan kisah tentang marga Sembiring, yang disebut sebagai Sembiring singombak.Â
Setiap delapan tahun sekali keluarga Sembiring singombak tersebut melaksanakan pesta adat kematian dengan menghanyutkan abu atau tulang-tulang dari keluarga atau leluhur mereka.
Jenazah atau tulang-tulang itu digali kemudian dibakar terlebih dahulu dan dimasukkan ke sebuah kotak atau pot dan diletakkan (ada juga yang ditaburkan) di dalam kapal yang disebut pelangkah. Kemudian pelangkah dihanyutkan ke sungai Lau Biang atau Lau Beringin, lalu dilempari dengan batu agar lebih mudah hanyut.
Tradisi yang dilakukan di sungai ini merupakan pengganti dari simbol kesatuan kultural dan spiritual yang terpaut dengan sungai Gangga di India.
Peti kayu yang berbentuk perahu dengan bagian kepalanya yang berbentuk seekor burung rangkong. Perahu itulah yang disebut pelangkah.
Pelangkah terletak di sisi samping rumah adat Karo. Pada sisi atas peti terdapat seorang laki-laki pada bagian depan yang biasanya menyandang sebuah senjata dan wanita diletakkan pada sisi bagian belakang.
Figur wanita adalah sosok seorang dukun atau guru sibaso. Patung-patung seperti ini terdapat pada perahu keluarga Sembiring.
Namun, ada juga dari marga Sembiring melaksanakan pembakaran mayat dan meletakkan abunya di dalam sebuah pot.Â
Setelah masa Belanda menguasai dan menduduki wilayah Tanah Karo hal seperti ini tidak pernah lagi dilaksanakan, terutama karena datangnya misionaris yang membawa agama Kristen masuk ke Tanah Karo.