Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Pemeliharaan Tuhan dalam Dilema Sosial dan Hidup yang Penuh Misteri

1 April 2022   09:56 Diperbarui: 1 April 2022   10:48 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari KOMPAS.com, sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan keamanan cyber Kaspersky Lab di 12 negara di dunia menunjukkan ada empat alasan mengapa orang meninggalkan jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Dikutip dari KompasTekno, Minggu (4/12/2016), survei online ini melibatkan 4.831 responden, di mana alasan terbesarnya adalah jejaring sosial dianggap hanya membuang-buang waktu.

Empat alasan besar mengapa orang ingin meninggalkan jejaring sosial menurut survei tersebut secara berturut-turut adalah, responden percaya bahwa mereka membuang-buang waktu di jejaring sosial (39 %), responden menyatakan mereka tidak mau aktivitasnya dimonitor oleh raksasa perusahaan teknologi (30 %), responden mengatakan akun mereka telah diretas (5 %), dan responden mengatakan mereka capek dengan "pembenci" atau haters yang selalu merundung mereka (4 %).

Tidak usah jauh-jauh melakukan survei, barangkali kita bisa melihat kenyataan di tengah keluarga kita sendiri, atau di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, lingkungan kerja, dan komunitas-komunitas yang kita ikuti. Dilema sosial dalam hubungannya dengan pengaruh teknologi itu sudah sekian lama dijelaskan dengan sangat padat dalam ungkapan "mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat".

Barangkali saja, awalnya media sosial diniatkan untuk membuat yang jauh bisa mendekat dan yang dekat menjadi merapat. Nyatanya tidak demikian, banyak keretakan justru terjadi setelah orang marak dan jamak bermedia sosial.

Karena dunia media sosial tampaknya seakan sudah menjadi realitas dunia yang baru dan diterima secara luas, dampak ikutan dari penggunaannya pun tampaknya sudah seperti hal yang biasa-biasa saja dan diterima apa adanya di tengah kehidupan kita.

Sikap ini seolah menjelaskan bahwa hal ini tidak ada bedanya dengan perubahan dari manusia yang dulunya berjalan kaki sebelum ditemukannya sepeda, kenyataan bahwa banyak sekali orang yang bersepeda setelah penemuan sepeda. Itu adalah hal yang biasa.

Demikian juga halnya pandangan terkait media sosial. Bila sekarang banyak hal terjadi di dan akibat media sosial itu adalah buah yang wajar sebagai akibat dari suatu penemuan baru lainnya.

Apa yang bisa kita lakukan dalam situasi seperti ini baiklah kita mulai dari lingkup yang paling kecil terlebih dahulu, mulai dari diri kita sendiri.

Apa yang Bisa dan Sebaiknya Kita Lakukan?

Kita pun mungkin akan menemukan kenyataan di mana kita merasa sulit sekali untuk menjadi berbeda dengan manusia-manusia lain di sekitar kita. Pandangan umum telah membentuk perilaku yang diterapkan berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya diterima sebagai sebuah kebenaran, atau setidaknya tersimpul dalam sebuah kata, lumrah.

Maka tidak heran bila pameo "menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan" tampak dan terasa menjadi sudah semakin berkurang kadar negatifnya, dan hanya sekadar candaan ringan. Bisa saja karena kenyataan itu memang sudah semakin dipandang lumrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun