"Hidup tercela atau tidak adalah sebuah jarak yang dibentuk oleh pilihan-pilihan dalam hidup"
Sungguh hari esok merupakan sebuah misteri bagi siapa saja. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi esok, bahkan lima menit selanjutnya dari saat ini pun tidak.
Namun, dalam hidup di tengah dunia ada juga yang mampu mengolah misteri dan ketidakpastian menjadi peluang. Jualannya adalah prediksi dengan akurasi yang paling tinggi berbasis data.
Dalam pasar dengan jualan yang demikian, manusia dijadikan komoditi dan internet adalah pasarnya. Rasa penasaran dan keingintahuan manusia, serta hasratnya untuk selalu menjadi yang terbaik adalah sifat bawaan yang menjadikan manusia mudah dijadikan sebagai tambang data yang sedang digali sedalam-dalamnya.
Data yang berhasil ditambang sedemikian rupa "secara sukarela" dipasarkan melalui internet. Sebagai komoditi yang dipasarkan tentu saja data itu ditukar dengan uang atau lain-lain hal sebagai bentuk keuntungan.
Sadar atau tidak, kita kini terperosok semakin dalam di pasar yang demikian itu seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi. Indikasi sederhana tampak dari meningkatnya ketergantungan atau bahkan kecanduan kita akan gawai dan internet.
Teknologi internet mampu menghilangkan segala sekat, batas, jarak, dan waktu dalam kehidupan kita secara global. Datang menyertainya sebagai tantangan dan ancaman adalah komunikasi kita yang kini telah berubah dan bergeser makna menjadi lebih ke arah manipulasi.
Demikianlah secara ringkas rangkuman pengakuan yang disampaikan oleh mereka yang terlibat sebagai mantan orang-orang penting dalam pembangunan berbagai platform media sosial di Silicon Valley dalam sebuah film dokumenter produksi tahun 2020 yang berjudul "The Social Dilemma".
Orang-orang ini, secara eksplisit dan implisit, menjelaskan potensi ancaman dan bahaya yang bisa terjadi bila tidak ada upaya untuk mengendalikan atau bahkan sekadar mengurangi laju produksi "penambangan" data ini. Untuk dihentikan sepertinya sudah tidak mungkin lagi.