Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sekilas Potret Situs Cagar Budaya Putri Hijau di Desa Sukanalu Simbelang

20 Maret 2022   19:40 Diperbarui: 21 Maret 2022   05:16 4871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekilas Potret Situs Cagar Budaya Putri Hijau di Desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Cerita lisan akan selalu hidup dan selamanya diwariskan dalam berbagai versi dari generasi ke generasi. Ia bertahan dan mungkin berkembang sesuai sudut pandang masing-masing penutur pada zamannya.

Para pembaca yang budiman, pada artikel terdahulu yang berjudul "Warisan Budaya yang Membuktikan bahwa Kita Semua Bersaudara" telah dijelaskan bahwa dalam cerita rakyat atau legenda Putri Hijau, saudaranya yang berwujud meriam, pecah karena terlalu panas dalam sebuah peperangan sengit melawan kerajaan Aceh. Sila baca di sini. 

Sekeping pecahan meriam yang disebut "meriam puntung" itu saat ini berada di sebuah situs cagar budaya di Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Sedangkan bagian lain meriam yang lebih besar disimpan di Istana Maimun, Medan, yang kini juga berfungsi sebagai museum.

Bila ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa kisah tentang Putri Hijau adalah cerita rakyat atau legenda dari Tanah Deli, maka kita pun tetap akan terhubung dengan kisah kedekatan hubungan kerajaan Melayu Deli dengan Tanah Karo.

Perbedaan di sana sini terkait cerita rakyat Putri Hijau dari penuturan yang berkembang di kalangan masyarakat Karo dengan versi yang berkembang di kalangan masyarakat Melayu Deli selain karena mungkin dilatarbelakangi oleh persaingan simbol-simbol identitas kesukuan, juga merupakan kelemahan sekaligus keunggulan cerita rakyat sebagai cerita lisan pada umumnya.

Sekilas Kisah Putri Hijau

Lokasi di sekitar situs cagar budaya yang merupakan binaan pemerintah provinsi Sumatera Utara ini terasa sangat teduh dan asri karena keberadaan pohon-pohon besar yang disebut batang nabar menaungi situs itu. 

Batang nabar adalah jenis pohon kayu yang cukup besar, dalam bahasa Indonesia disebut juga kayu mabar, mirip dengan pohon beringin.

Pohon-pohon besar yang menaungi situs cagar budaya Putri Hijau di Desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)
Pohon-pohon besar yang menaungi situs cagar budaya Putri Hijau di Desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Untuk mengenal lebih jauh tentang situs cagar budaya Putri Hijau di Desa Sukanalu Simbelang itu, saya mewawancarai seorang yang bertugas sebagai pemegang kunci situs. Ia adalah Ikhsan Wahyudi Ginting.

Ia menjelaskan sekilas cerita tentang Putri Hijau mulai dari awal kelahirannya hingga menghilangnya ia saat terjadinya peperangan sengit melawan kerajaan Aceh.

Konon dahulu kala di desa Seberaya, Tanah Karo, seorang wanita dari klan marga Sembiring mengandung padahal belum memiliki suami. 

Situasi seperti itu sangat mencoreng nama baik keluarga, sehingga pihak keluarga mengupayakan untuk mencari pemuda yang mau menikahi si wanita dari klan marga sembiring itu.

Hal itu bukanlah sebuah perkara mudah. Singkat cerita, si wanita itu pun menghilang dari desa secara misterius.

Menurut cerita, wanita yang mengandung tanpa suami itu masih dari keturunan bangsawan, golongan keluarga raja-raja. 

Barangkali ia pun tak tahan dianggap sebagai sumber aib bagi keluarganya yang terhormat hingga akhirnya ia menghilang tanpa jejak.

Hingga pada suatu hari...

Saat siang pada suatu hari, seorang pemuda melihat seorang gadis cantik berambut panjang sedang duduk di dekat sebuah pemandian di sekitar sungai yang dinamakan sungai "Lau Biang". Pada waktu itu menjelang musim panen padi di sawah.

Biasa pada masa seperti itu saat pagi dan sore hari para pemuda desa turun ke sawah untuk menghalau burung pemakan padi. Gadis cantik berambut panjang itu tidak dikenalnya sama sekali, tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Merasa diperhatikan, si gadis pun beranjak pergi dan masuk ke sebuah gua yang disebut gua "Lau Pirik". Saat ini, lokasi itu termasuk wilayah desa Seberaya, Kecamatan Tiganapah, Kabupaten Karo.

Gua itu lebih menyerupai sebuah lubang dan berada dekat dengan sawah. Disebut lebih menyerupai lubang sebab untuk masuk ke dalamnya hanya muat satu orang.

Melihat kejadian yang tidak biasa itu, si pemuda pun membawa kabar ke orang-orang desa. Orang-orang desa itu percaya bahwa di dalam gua itulah bersemayam anak yang dilahirkan wanita dari klan marga sembiring yang mengandung tanpa diketahui siapa suaminya dan menghilang secara misterius itu.

Sang gadis cantik berambut panjang itu diyakini sebagai Putri Hijau. Dia dipercaya memiliki dua orang saudara, yakni Naga dan Meriam.

Dalam cerita rakyat versi Melayu Deli, disebutkan bahwa Putri Hijau adalah anak dari raja Tanah Deli. Saudaranya ada dua orang, yakni Naga yang merupakan jelmaan kakak kandungnya yang bernama Mambang Yazid, dan Meriam yang merupakan jelmaan adik kandungnya yang bernama Mambang Khayali.

Kecantikan Putri Hijau tersiar luas. Banyak raja dan pangeran yang berkeinginan mempersuntingnya, sebagian lagi hanya sekadar ingin menguji kesaktiannya melawan Putri Hijau dan saudara-saudaranya.

Namun, tidak ada satu orang pun yang mampu menandingi kesaktian tiga orang bersaudara itu. Putri Hijau sering juga merenungkan nasibnya di bawah pohon beringin, tentang kedua saudaranya yang tidak berwujud sebagaimana umumnya manusia biasa.

Perjalanan Putri Hijau, Hubungannya dengan Nama-Nama Tempat dan Perang 

Karena kesaktiannya, di mana saja tempat yang diduduki oleh Putri Hijau dan saudara-saudaranya akan menjadi tempat yang dikeramatkan. 

Gundah dengan keadaan diri mereka yang tidak umum sebagaimana halnya orang lain, maka mereka pun pergi meninggalkan kampungnya.

Di tengah perjalanan, mereka berhenti pada sebuah tempat yang kini disebut Lau Gendek. Katanya, di situ Putri Hijau kembali mengingat kenyataan hidupnya yang membuatnya kecewa.

Dalam bahasa Karo perasaan kecewa itu disebut "megendek ukur". Konon itu adalah asal kata nama tempat Lau Gendek, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo.

Mereka melanjutkan perjalanan, tapi tidak lama kemudian mereka berhenti lagi di sebuah tempat yang kini disebut Tongkeh. Konon katanya, Putri Hijau meminta berhenti karena masih ada ganjalan dalam hatinya.

Ganjalan hati dalam bahasa Karo terjemahannya adalah "nongkeh ukur". Konon itu adalah asal nama desa Tongkeh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo.

Namun, mereka pun tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah tempat bernama Pancur Gading, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Kabar pun segera sampai ke istana Sultan Deli, bahwa Putri Hijau telah tiba di Tanah Deli.

Lagi menurut cerita, seekor burung mengabarkan tibanya Putri Hijau di kerajaan Melayu kepada raja Aceh. Rupanya kecantikan Putri Hijau yang tersohor juga telah lama sampai ke kerajaan Aceh.

Pangeran kerajaan Aceh pun berkeinginan meminang Putri Hijau menjadi istrinya. Lalu diutuslah delegasi ke Tanah Deli untuk menyampaikan maksud itu.

Diceritakan bahwa delegasi kerajaan Aceh itu bertemu dengan Putri Hijau di sebuah daerah yang dinamakan Pasir Putih. Putri Hijau menyatakan bahwa dia bersedia menerima pinangan itu kalau pangeran kerajaan Aceh dapat memenuhi syarat yang diajukannya.

Sebetulnya syarat itu adalah sebuah penolakan secara halus. Sebab Putri Hijau merasa yakin bahwa sang pangeran tidak akan mampu mengabulkan permintaannya. Putri Hijau meminta disediakan kaca untuk tempatnya bercermin seukuran sebuah kapal.

Sang pangeran kerajaan Aceh pun menyetujui syarat itu. Namun, dalam perjalanannya kaca cermin itu pun pecah, pernikahan pun batal dengan sendirinya.

Kecewa dengan kenyataan itu, raja Aceh pun mengirimkan armadanya untuk memerangi kerajaan Deli. Pada saat itu kerajaan Deli merupakan tempat bernaung bagi Putri Hijau dan saudara-saudaranya.

Putri Hijau dan saudara-saudaranya memberi perlawanan yang sengit. Peperangan itu berlangsung di daerah Pasir Putih yang sekarang disebut Belawan.

Menurut penutur, perlawanan itu ada hubungannya dengan asal nama Belawan, sebuah pelabuhan laut yang terkenal di daerah pantai Timur Sumatera.

Karena semakin terdesak, Putri Hijau, Naga, dan Meriam memilih melarikan diri ke daerah Buluh Duri. Namun, perang tidak dapat dielakkan lagi ketika mereka bersua kembali dengan pasukan kerajaan Aceh yang mengejar mereka hingga Hamparan Perak.

Konon menurut penutur, asal nama Hamparan Perak karena peluru yang digunakan oleh pasukan kerajaan Aceh terbuat dari emas dan perak.

Meriam, saudara Putri Hijau, memberikan perlawanan yang sengit. Namun, karena menembaki pasukan kerajaan Aceh tanpa henti, Meriam pun menjadi terlalu panas dan akhirnya meledak. 

Sekeping pecahannya itulah yang saat ini disimpan di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang ini.

Pecahan meriam puntung di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)
Pecahan meriam puntung di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Pecahan meriam puntung di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)
Pecahan meriam puntung di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Pecahan meriam ini disebut meriam puntung. Sisa bagiannya yang terbesar saat ini masih tersimpan di istana Maimun, Medan.

Karena Meriam sudah pecah, maka perlawanan Putri Hijau pun berakhir, dia pun ditangkap. Dia bersedia ditawan dan dibawa ke Aceh, tapi dengan satu syarat, dia dibiarkan mengurai rambutnya yang panjang untuk ditenggelamkan ke lautan lepas.

Permintaannya pun dikabulkan. Helai-helai rambutnya yang diurai ke laut itu maksudnya untuk memberi tanda jejak bagi Naga, saudaranya, agar bisa menemukannya.

Naga pun akhirnya menemukan kapal yang membawa Putri Hijau, ia lalu mengguncang dan menenggelamkannya. Naga membawa Putri Hijau menghilang ke dasar lautan, dan dengan demikian berakhirlah kisahnya.

Menurut penutur, ada alasan mengapa pecahan meriam puntung ini bisa sampai di desa Sukanalu Simbelang. Nenek Putri Hijau berasal dari klan marga Karo-Karo di desa Sukanalu Simbelang ini.

Neneknya dari klan marga Karo-Karo, sub marga Sitepu. Itu pulalah sebabnya situs cagar budaya itu berada di tanah yang secara pembagian adat disebut kesain (halaman, bhs. Ind) Sitepu Rumah Ukir.

Percaya atau tidak, tidak sembarang orang mampu mengangkat pecahan meriam ini walaupun tampaknya hanya sekeping pecahan besi. Pernah juga pecahan meriam ini menghilang beberapa hari, diduga diambil orang.

Namun, akhirnya kembali lagi. Diduga dikembalikan oleh orang yang mengambilnya.  

Gerbang masuk ke situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)
Gerbang masuk ke situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Tanah longsor di sekitar situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)
Tanah longsor di sekitar situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang (Dok. Pribadi)

Menurut penutur, situs cagar budaya ini berada di bawah binaan Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. 

Saat ini keberadaan situs yang berada di dekat tebing ini terancam oleh longsor yang terjadi akibat curah hujan yang berkepanjangan.

Legenda klasik bernama Puteri Hijau ini lahir di tengah kecamuk konspirasi mematikan bermotif ekonomi yang memicu perang besar antara empat kerajaan di sekitar Selat Malaka, yang berdasarkan sejarah terjadi pada abad 15 hingga abad 16 Masehi.

Percikan sejarah besar itu terpaut dengan kisah sekeping potongan meriam yang disebut meriam puntung dari legenda Putri Hijau. Tersimpan di sudut desa Sukanalu Simbelang yang mungkin belum banyak dikenal orang.

Bagaimana pun, keberadaan situs cagar budaya ini ikut berperan menjaga legenda tentang sang putri bertahan hingga kini. Banyak peziarah yang datang dengan berbagai motif ke situs ini, sebagian sekadar memuaskan rasa penasaran sambil berwisata, sebagian lagi adalah murid-murid sekolah yang mengerjakan tugas mata pelajaran sejarah dan seni budaya. 

Ulasan ini hanya mencoba memberikan gambaran sekilas potret, tentang kisah yang ada di balik realitas yang masih bertahan di sana hingga kini.

Pojok Baca: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun