Meriam, saudara Putri Hijau, memberikan perlawanan yang sengit. Namun, karena menembaki pasukan kerajaan Aceh tanpa henti, Meriam pun menjadi terlalu panas dan akhirnya meledak.Â
Sekeping pecahannya itulah yang saat ini disimpan di situs cagar budaya Putri Hijau desa Sukanalu Simbelang ini.
Pecahan meriam ini disebut meriam puntung. Sisa bagiannya yang terbesar saat ini masih tersimpan di istana Maimun, Medan.
Karena Meriam sudah pecah, maka perlawanan Putri Hijau pun berakhir, dia pun ditangkap. Dia bersedia ditawan dan dibawa ke Aceh, tapi dengan satu syarat, dia dibiarkan mengurai rambutnya yang panjang untuk ditenggelamkan ke lautan lepas.
Permintaannya pun dikabulkan. Helai-helai rambutnya yang diurai ke laut itu maksudnya untuk memberi tanda jejak bagi Naga, saudaranya, agar bisa menemukannya.
Naga pun akhirnya menemukan kapal yang membawa Putri Hijau, ia lalu mengguncang dan menenggelamkannya. Naga membawa Putri Hijau menghilang ke dasar lautan, dan dengan demikian berakhirlah kisahnya.
Menurut penutur, ada alasan mengapa pecahan meriam puntung ini bisa sampai di desa Sukanalu Simbelang. Nenek Putri Hijau berasal dari klan marga Karo-Karo di desa Sukanalu Simbelang ini.
Neneknya dari klan marga Karo-Karo, sub marga Sitepu. Itu pulalah sebabnya situs cagar budaya itu berada di tanah yang secara pembagian adat disebut kesain (halaman, bhs. Ind) Sitepu Rumah Ukir.
Percaya atau tidak, tidak sembarang orang mampu mengangkat pecahan meriam ini walaupun tampaknya hanya sekeping pecahan besi. Pernah juga pecahan meriam ini menghilang beberapa hari, diduga diambil orang.