Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gerobak Jajanan Pak Ayo dan Sekilas Renungan tentang Rezeki

12 Maret 2022   20:16 Diperbarui: 13 Maret 2022   13:00 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang dicari orang? Pagi, petang, siang, malam? Uang, uang, uang."

Begitulah lebih kurang penggalan syair lagu anak sekolah Minggu yang kerap saya nyanyikan dulu. Sampai sekarang pun (sebelum pandemi) lagu ini masih dinyanyikan di kelas sekolah Minggu bagi anak-anak kecil.

Mencari uang (mendapatkan gaji, upah, imbalan, keuntungan, dsb), sebagai "salah satu" tujuan orang bekerja, adalah hal yang lumrah dalam hidup karena uang diperlukan untuk membeli berbagai kebutuhan hidup.

Mencari uang juga ada hubungannya dengan kebahagiaan, walapun kebahagiaan tidak sepenuhnya dapat dibeli dengan uang.

Bak kata sebuah pepatah Melayu yang dikutip menjadi syair sebuah lagu pop daerah yang top (di kampung kami), "Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang."

Begitu pentingnya uang sehingga banyak cara ditempuh orang-orang untuk mendapatkannya, dengan demikian berarti banyak pula cara ditempuh orang-orang untuk mendapatkan kebahagiaan.

Lalu, apakah sebenarnya kebahagiaan itu, di manakah harus mencarinya?

Ketika melintasi ruas jalan di sebuah sudut kota kecil kami, Kabanjahe, saya melihat gerobak jajanan yang hampir setiap sore dikerumuni antrian pembeli. Biasanya saya lewat saja meskipun dipenuhi rasa penasaran akan jualan sang pemilik gerobak itu.

Siang itu, karena sang pemilik gerobak baru saja membuka lapaknya maka belum begitu banyak pembeli yang mengantri. Saya pun menyambangi gerobak jajanan sore itu, bagaimana pun rasa penasaran ini harus dituntaskan kali ini.

"Apa, Bang?" kata sang pemilik jualan.

"Ada apa aja ini, Bang?" jawabku sambil mataku menyapu setiap sudut bagian dalam isi gerobaknya yang penuh jajanan nan menggiurkan itu.

Jujur saja, sebagai penggemar jajanan pasar, aku merasa diriku saat itu seperti tikus yang jatuh ke lumbung padi atau gudang jagung yang telah dipipil. Naluri serasa membuatku ingin segera melahap apa yang bisa segera aku tangkap dari dalam gerobak.

Aneka jajanan pasar di gerobak pak Ayo (Dok. Pribadi)
Aneka jajanan pasar di gerobak pak Ayo (Dok. Pribadi)

"Ada cenil, lupis, getuk, buah melaka, gemblung , mi, macam-macam gorengan, Bang," kata si bapak.

Buah melaka adalah sebutan kami di sini untuk klepon. Sementara itu, mi yang dijual adalah yang kami sebut mi gomak atau mi balap, dilumuri kuah sambal kacang, atau sambal tomat, atau bahkan dicampur keduanya.

Mi balap Pak Ayo dan aneka gorengan jajanan pasar (Dok. Pribadi)
Mi balap Pak Ayo dan aneka gorengan jajanan pasar (Dok. Pribadi)

Melihat air mukanya yang sangat ramah dan bercahaya, aku segera merasakan nuansa akrab. Bagaimana pun bapak penjual jajanan sore yang ramai pembeli ini pastilah seorang sosok yang inspiratif, pikirku.

"Aku pesan cenil, lupis, buah melaka, getuk, masing-masing seporsi, mi gomaknya lima bungkus ya, Bang," kataku.

Semua pesanan ini untuk dinikmati oleh kami berlima di rumah. Sambil menunggu si bapak selesai membungkus pesananku, aku pun mengambil sepotong risol dari rak etalase gerobaknya.

Bagaimana pun, untuk bisa sekadar mengobrol ringan dengannya, naluri makanku yang besar harus aku imbangi dengan nuansa akrab yang sudah menguar dari dalam gerobak penuh makanan ini.

"Setiap hari buka ya, Bang," tanyaku.

"Ya, Bang. Jam 1 siang setiap hari aku mulai buka."

"Tapi cepat sekali habis ya, Bang?"

"Alhamdulillah, begitulah, Bang. Rezeki anak sekolah," jawabnya.

"Memangnya berapa orang anaknya, Bang?"

"Anak saya 3 orang, Bang. Anak yang paling tua sedang kuliah jurusan perpustakaan di Universitas Sumatera Utara, sebentar lagi mau lulus katanya. Adiknya yang dua orang lagi masih duduk di bangku SMA," kata si bapak.

Selain air mukanya sangat cerah, ia juga sangat cekatan membungkus pesananku. Tak terasa sudah dua risoles habis aku embat di sela bincang-bincang kilat kami pada siang itu.

Belum lagi selesai pesananku, sudah mulai berdatangan orang-orang yang ingin membeli jajanan sore pak Ayo-ayo.

Aku belum sempat menanyakan mengapa si abang penjual jajanan sore nan laris ini dipanggil "Pak Ayo-ayo". Namun, keramahtamahan dan air mukanya yang cerah ceria memang serasa menghayo-hayokan semangat untuk menjalani hidup.

Bukan persoalan siapa kita, apa latar belakang kita, dan apa yang kita kerjakan. Namun, bagaimana kita mengerjakan apa yang menjadi bagian kita, dan mensyukuri nikmat yang diperoleh dari padanya. Barangkali itulah yang menentukan cerah cemberutnya air muka kita menjalani hidup.

Pak Ayo-ayo tampak bahagia meskipun setiap hari dikerumuni orang-orang yang berlomba cepat ingin dilayani permintaannya. Sebab jerih lelahnya berhubungan dengan kebahagiaan keluarga yang mendoakan dan menanti rezekinya pulang ke rumah.

Ternyata mencari kebahagiaan tidak harus jauh-jauh. Kebahagiaan bersemayam bahkan di sebuah gerobak jajanan nan bersahaja, dan di antara doa orang-orang yang mengasihi kita.

Pak Ayo-ayo dan gerobak jajanannya memberikan sekilas pelajaran melalui bincang-bincang singkat kami siang itu. Pekerjaan sekecil apa pun yang dikerjakan dengan tekun dan disyukuri akan mendapatkan ganjaran yang bahkan mungkin di luar yang pernah kita bayangkan.

Aku membayar pesanan itu, total semuanya Rp 35.000. Aku pun bergegas mengangkut bungkusan berisi penuh makanan itu, tujuanku belum lagi sampai. Seharusnya aku membeli buah ke pasar, lagi pula semakin banyak orang yang berdatangan ke tempat ini.

"Terima kasih ya, Bang. Menang terus, dan sehat selalu," kataku sambil bergegas pergi.

"Amin. Makasih ya, Bang," kata pak Ayo sambil menyendoki sambal tomat ke sebungkus mi gomak yang sedang "dilahap" seorang anak kecil dengan bola matanya yang cerah berbinar.

Aku pun membayangkan bola mata anak-anakku yang sedang menanti pesanan tiba di rumah. Terima kasih, Pak Ayo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun