Pada sebuah kesempatan menghadiri pesta adat pernikahan menurut adat Karo di sebuah desa di Tanah Karo, kebetulan jamuan makan siang disiapkan oleh anak beru, bukan oleh pengusaha jasa boga atau katering. Saya pun mencoba mendokumentasikan sebagian potretnya, sebelum nanti sepenuhnya mungkin hilang atau berubah ditelan perkembangan zaman.
Pada masa-masa sebelum pandemi, makan siang pada sebuah pesta adat Karo berarti jamuan makan bersama sekitar 1500 hingga 1700 orang sekaligus pada sebuah balai adat yang disebut jambur. Perkiraan jumlah orang itu berdasarkan kapasitas balai adat yang berbeda-beda untuk setiap desa yang rata-rata terisi penuh setiap kali pelaksanaan pesta adat.
Jamuan makan untuk sebuah pesta adat pada hari H setidaknya sudah disiapkan sejak sarapan pagi, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, dan biasanya berlangsung hingga sekitar pukul 9 atau 9.30 WIB. Namun, puncak jamuan itu adalah saat makan siang.
Proses persiapan memasak sudah sejak pagi. Ada yang memotong daging, mengiris sayuran, menghidupkan api dan meyiapkan kuali besar, sedangkan sebagian lagi menanak nasi.
Semua bahan-bahan ini sudah barang tentu dalam jumlah yang besar karena untuk kebutuhan makan ribuan orang. Daging yang disiapkan biasanya daging babi, ada juga daging ayam, daging sapi, atau ikan yang dimasak bagi yang memantangkan daging babi.
Tidak hanya memasak bahan-bahan dalam jumlah besar. Ketika aba-aba untuk menghidangkan sajian disampaikan melalui corong mikrofon oleh anak beru yang bertanggung jawab mengoordinasikan pelaksanaan jamuan makan, maka diperlukan juga banyak orang untuk membawa hidangan dari dapur untuk disajikan ke tengah perhelatan pesta di dalam jambur.
Pertama-tama disajikanlah 14 piring sajian adat yang disebut nakan pengadati kepada 14 pihak yang sudah ditentukan sebagai yang berhak menerima. Sebenarnya nakan pengadati ini berisi sajian dengan menu yang sama dengan sajian untuk khalayak ramai.