Mengamati dan menyimpan kenangan dari pengalaman di perjalanan saat jalan-jalan, sekalipun melintas dengan kencang, terasa menyenangkan dan membikin lupa perasaan mual, mabuk darat. Ini adalah sepotong catatan perjalanan dari ruas jalan lintas Barat Sumatera.
Wuss, wuss, wuss. Bus umum, mobil pribadi, dan sepeda motor melaju dengan kencang. Hanya truk yang sarat muatan berjalan lambat, truk kosong tetap saja melaju kencang, wuss, wuss, wuss.
Suasana hilir mudik berbagai jenis kendaraan seperti tiada habisnya di ruas jalan yang termasuk jalur lintas Barat Sumatera. Kami melintas dari Kabupaten Karo, Sumatera Utara menuju Kota Bukittinggi, Sumatera Barat di jalur lintasan sejauh lebih kurang 600 kilometer.
Berangkat dari Merek, Tanah Karo, pada Sabtu, 12 Februari pukul 7.25Â WIB, kami tiba di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada pukul 9.15Â WIB. Hanya melintas sambil menatap sekilas dari balik kaca jendela bus ke arah Danau Toba yang segera berlalu dalam kilasan cahaya.
Berikut ini dua pokok catatan yang terekam dari 17 jam perjalanan di salah satu ruas Jalan Lintas Barat Sumatera itu.
1. Kolam air panas belerang di tepi Jalan Lintas Barat Sumatera
Setelah melintasi pasar Porsea, Laguboti, wilayah Kabupaten Toba, pada pukul 11.10 WIB kami tiba di perbatasan Tapanuli Utara.Â
Salah satu kota yang terkenal di sana adalah Siborong-borong, yang tenar lewat lagu "Makan Daging Anjing dengan Sayur Kol". Lagu itu sudah ada sejak tahun 1970-an, tapi kini tenar lagi kata pak Tobing yang duduk di belakangku.
Saat tiba di Sipoholon, masih wilayah Tapanuli Utara, terlihat uap membumbung di atas atap rumah-rumah sepanjang jalan. Ternyata uap itu berasal dari sumber air panas dan belerang.
Kata pak Tobing, konon hanya ada dua tempat dengan sumber air panas dan belerang yang berlokasi di pinggir jalan lintas seperti ini. Selain di Sipoholon ini ada satu lagi di Nikaragua, Amerika Tengah.
Selama 3 jam 5 menit perjalanan barulah kami keluar dari perbatasan Tapanuli Utara. Perjalanan pun berlanjut hingga tiba di Sipirok, Tapanuli Selatan pada pukul 14.45 WIB.
Sipirok adalah salah satu kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sipirok menjadi ibu kota setelah Padang Sidimpuan yang merupakan ibu kota sebelumnya ditetapkan menjadi daerah otonom kota administratif .
Sipirok merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh nasional seperti Merari Siregar yang merupakan seorang pengarang angkatan Balai Pustaka.Â
Kemudian Lafran Pane, pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), lalu Hariman Siregar yang merupakan tokoh yang dikenal dalam peristiwa sejarah "Malari", malapetaka 15 Januari 1974, dan juga tempat kelahiran Raja Inal Siregar yang pernah menjadi Gubernur Sumatera Utara dan terkenal dengan semboyan "Marsipature hutanabe" yang berarti mari membangun kampung masing-masing.
Sipirok berada di lembah gunung Sibualbuali yang termasuk gunung api aktif pada gugusan pegunungan Taman Nasional Bukit Barisan. Itulah penjelasan mengapa daerah sekitar pada jalur ini berhawa sejuk dan banyak sumber air panas mengandung belerang.
2. Jejak Hubungan Tapanuli dan Minangkabau di Padang Sidimpuan
Tiba di Palsabolas pada pukul 15.15 WIB. Tempat ini masih termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Selanjutnya melintasi kota Padang Sidimpuan yang dulunya merupakan ibu kota Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Nama Padang Sidimpuan berasal dari frasa "Padang na dimpu" dalam bahasa Batak Angkola. Padang artinya hamparan atau kawasan luas, na artinya yang, dan dimpu artinya tinggi.
Jadi, Padang Sidimpuan bisa diartikan "hamparan luas yang berada di tempat yang tinggi". Pada zaman dahulu daerah ini merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah, seperti pedagang ikan dan garam dari Sibolga, Panyabungan, dan Padang Bolak (sekarang termasuk wilayah Padang Lawas Utara).
Apakah ada hubungan nama Padang Sidimpuan, daerah di sebelah Selatan Sumatera Utara yang setelah Mandailing Natal merupakan daerah terdekat dengan bagian sebelah Utara Sumatera Barat yang beribu kota Padang? Bentuk khas atap rumah adat Tapanuli yang semakin ke Selatan semakin mirip dengan atap rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat bisa jadi adalah salah satu indikasi kedekatan hubungan itu.
Kota Padang Sidimpuan dibangun pertama kali sebagai benteng pada tahun 1821 oleh pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Lelo.Â
Perang Padri merupakan peperangan di wilayah Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat, pada rentang tahun 1803-1838 yang berawal dari adanya perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum adat Sumatera Barat terkait agama.
Perang Padri pertama melibatkan suku Minang, yang mayoritas mendiami Sumatera Barat, dan suku Mandailing, yang mayoritas mendiami Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.Â
Salah satu pengaruh pasukan Padri ini pada kota bentukan mereka terkait keberadaan agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk kota Padang Sidimpuan.
Namun, dalam perjalanannya kaum Padri dan kaum adat bersatu dalam Perang Padri kedua melawan penjajahan Belanda di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Hingga akhirnya dia ditangkap oleh Belanda pada tahun 1837.
Orang-orang Minang sudah merantau ke Padangsidimpuan sejak masa Perang Padri. Terutama pada masa sebelum kemerdekaan, banyak ulama dan guru dari etnis Minangkabau Sumatera Barat yang mengajar di Padang Sidimpuan.
Ini menjadi penjelasan mengapa di Padangsidimpuan bisa berdiri Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS) yang merupakan universitas swasta terbesar di daerah Tapanuli bagian selatan. Bahkan terbesar kedua di Sumatera Utara setelah kota Medan.
Ketika melewati Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, kita pun akan melintasi desa Tambangan, Lumban Pasir, di mana terdapat sebuah pondok pesantren Darul Ulum Muara Mais Jambur.Â
Melintasi desa itu pada saat malam, terlihat para santri bercengkrama di sepanjang jalan lintas di desa itu. Seakan satu desa itu adalah sebuah pesantren besar.
Barangkali mereka berjalan pulang ke pondok setelah menunaikan sholat berjamaah. Suasana ruas jalan lintas Barat Sumatera terasa ramai di desa itu, tapi juga sekaligus terasa tenang dan bersahabat meskipun suasana gelap karena minim penerangan jalan.
Sebagaimana halnya jalan lintas (jalan trans) di pulau mana saja di Indonesia, setiap tempat di sepanjang jalur lintasan pastilah memiliki kisah dan cerita yang unik dan menarik. Menyusuri jalan lintas memang sesungguhnya juga berarti jalan-jalan dalam makna yang sebenarnya.
Dari sana kita bisa menikmati suasana alam sambil menyusuri sejarah dan mengamati budaya dari insan manusia setempat. Menikmati semua hal itu, selain menikmati makan dan minum ketika beristirahat tentu saja, terasa bermanfaat untuk membantu kita mengatasi mabuk darat di perjalanan.
Hal yang kepadanya kita antusias sepanjang perjalanan akan membuat kita lupa kepada perasaan mual saat bus berkejar-kejaran dengan waktu dan sesama pengguna jalan yang entah mau ke mana.
Tertidur dalam lamunan, saya pun melewatkan pengalaman dari sisa perjalanan hingga tiba di perbatasan. Setelah menempuh perjalanan sekitar hampir 17 jam dari Kabanjahe, kami pun tiba di Lubuk Basung yang termasuk wilayah Provinsi Sumatera Barat pada pukul 23.02 WIB.
Perjalanan melelahkan dalam ketergesaan terasa impas tatkala diganjar dengan pengalaman baru dan remah-remah makna kehidupan yang bisa dipungut sepanjang perjalanan meskipun terdengar remeh.Â
Tentu lebih banyak lagi yang bisa diceritakan pada sisa hari berikutnya dari tempat tujuan yang sayang untuk dilupakan.
Tarimo kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H