"Sudah divaksin lengkap, sudah pula divaksin booster, tapi kini kita kembali diberi peringatan waspada terhadap ancaman gelombang ke-3 Covid-19, waspada kepada omicron. Lalu apa gunanya semua vaksin itu disuntikkan ke kita?"
Berada di tengah pusaran berbagai opini masyarakat yang pro dan kontra terhadap isu covid-19 sendiri, berlanjut ke polemik soal manfaat dan bahaya vaksinasi sejak dosis pertama hingga vaksin booster, kita mungkin sudah merasa lelah dan juga bosan. Apa lagi semua ini?
Belajar dari pengalaman pandemi yang melanda sejak 2020 yang lalu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran praktis dari kenyataan sehari-hari. Barangkali akan bermanfaat bagi kehidupan dalam segala zaman dan situasi.
Pentingnya Konsistensi dan Kejelasan Sanksi dari Sebuah Kebijakan
Ada komentar sebagian orang yang menaruh curiga terhadap penanganan masalah covid-19. "Bila dana sudah habis, maka habis juga isu covid-19", katanya seorang ibu.
"Aku udah nggak percaya sejak covid tiba-tiba hilang, dan kini tiba-tiba muncul lagi", kata seorang ibu yang lain, yang tidak mau diungkapkan identitasnya.
Ada berbagai penjelasan masuk akal terkait munculnya sikap sebagaimana dijelaskan dalam contoh di atas. Di antaranya adalah adanya inkonsistensi dan ketidakjelasan sanksi dari sebuah kebijakan.
Dalam rangka meningkatkan kewaspadaan terhadap lonjakan kasus positif Covid-19 akhir-akhir ini, sudah mulai dilakukan penyesuaian kebijakan terkait kegiatan pembelajaran di sekolah. Pada daerah-daerah dengan kondisi PPKM level 2 misalnya, pembelajaran tatap muka dilakukan dalam porsi 50% dan pembelajaran secara daring dari rumah 50%.
Sementara itu, di sisi lain entah akibat tuntutan sosial budaya setempat atau kepentingan pribadi, pelaksanaan pesta dan acara resepsi pernikahan, misalnya, masih marak berlangsung dan terkesan semakin mengabaikan penerapan protokol kesehatan. Ada banyak undangan yang hadir, tidak ada jaga jarak, bebas memakai atau tidak memakai masker, nyaris tanpa pengawasan.
Menghadapi kenyataan ini, wajar saja bila sebagian orangtua murid mengeluh dan mempertanyakan dasar pertimbangan kebijakan yang diterapkan.
Apakah sebanding mengorbankan kepastian dan kejelasan masa depan pendidikan anak-anak mereka sementara di lain pihak pelaksanaan pesta dan resepsi bebas dilakukan entah dengan alasan apa pun?
Banjir Informasi dan Ketidakpedulian
Informasi sebagai hasil pengolahan data tentu sangat bermanfaat sebagai bahan pengambilan keputusan dan kebijakan. Namun, ada juga keburukan yang bisa muncul dari informasi yang berlimpah.
Disinformasi atau hoaks yang datang menyertai melimpahnya berbagai informasi penting, kurang penting, dan tidak penting membuat banyak energi terkuras untuk memverifikasi apa yang penting dan perlu bagi kita. Tidak jarang kita kelelahan dan menjadi enggan memverifikasi, telan saja dulu, persoalan belakangan.
Ketidakpedulian yang berpadu erat dengan banjir informasi bahkan bisa menghasilkan penafsiran seenaknya. Menjadi semakin gawat bila penafsiran seenaknya itu dilakukan oleh tokoh penting atau public figur di ruang publik.
Akhir-akhir ini mungkin banyak orang di sekitar kita yang mengeluhkan masalah tidak enak badan. Sebagian orang mewanti-wanti, "Awas, meskipun flu biasa tapi bila berobat ke rumah sakit dan di-rapid test, bisa saja dinyatakan positif Covid-19".
Lalu ada juga yang nyeletuk, "Sudah divaksin lengkap, sudah pula divaksin booster, tapi kini kita kembali diberi peringatan waspada terhadap ancaman gelombang ke-3 Covid-19, waspada kepada omicron. Lalu apa gunanya semua vaksin itu disuntikkan ke kita?"
Banjir informasi yang tidak diimbangi dengan penjelasan yang transparan, berimbang, dan mudah dipahami dari pembuat kebijakan dan pihak yang berkompeten, bisa menghasilkan ketidakpercayaan yang berkembang menjadi ketidakpedulian.
The dog barks the caravan passes. Anjing menggonggong khafilah berlalu, begitulah.
"Banyak orang meninggal, dari dulu pun begitu. Bedanya, sekarang sikit-sikit dibilang kena covid", kata sebagian orang.
Sikap seperti ini merupakan gambaran latar belakang terjadinya sikap abai terhadap penerapan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-sehari maupun tingkat kepedulian terhadap tercapainya target vaksinasi.
Lalu, bagaimana cara menyikapinya?
1. Perlu Terus Meningkatkan Literasi Digital
Perkembangan teknologi yang kurang diimbangi dengan meningkatnya literasi digital bisa menyebabkan bias dan masalah tambahan akibat tumbuh suburnya sikap "apa-apa asal dibagikan", apa-apa asal share.
Rendahnya literasi digital berpengaruh terhadap tingkat kepekaan, kecerdasan, serta kedewasaan seseorang dalam menyikapi suatu informasi yang dia terima.
Dikutip dari katadata.co.id, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan memakai informasi dari berbagai sumber yang bisa diakses melalui komputer.
Menurut Paul Gilster dalam buku "Digital Literacy", perkembangan komputer terjadi pada tahun 1980-an.
Komputer yang awalnya dipakai di lingkungan terbatas semakin menyebar pada tahun 1990-an. Perangkat komputer memungkinkan informasi bisa diakses dan disebarluaskan melalui jaringan internet.
Ada sebuah penjelasan menarik dari buku "Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an" yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Penjelasan dari bagian tentang teknologi yang memberikan kekuasaan kepada individu.
Ketika distopian besar George Orwell menulis 1984, Stalin masih hidup dan Hitler baru saja meninggal dunia. Tidak heran, Orwell percaya bahwa diktator masa datang akan menggunakan kemajuan teknologi untuk menaklukkan orang.
Ini juga merupakan premis karya Aldous Huxley, "Brave New World". Para diktator benar-benar perlu mengendalikan informasi untuk mempertahankan kendala karena pengetahuan adalah kekuasaan.
Namun, kenyataannya tidak berjalan seperti yang ditakutkan oleh Orwell dan Huxley. Televisi global dan kaset video sebagai gantinya telah mengekang kekuasaan para diktator.
"Dengan kekuasaan individu yang diperluas oleh komputer, warga dapat mengawasi pemerintah dengan jauh lebih efisien daripada pemerintah dapat mengawasi rakyatnya."
Bukankah faktanya bahwa dewasa ini memang begitu mudahnya masyarakat, siapa saja, mengatakan apa saja, baik yang berdasar maupun tidak, yang benar-benar ada maupun yang benar-benar mengada-ada? Perlu untuk kita lebih peka, cerdas, dan dewasa dalam menyikapi informasi yang beredar di sekitar kita.
Seandainya pemerintah memiliki maksud tersembunyi dalam agenda penanganan pandemi covid-19 ini, maka maksud itu berlangsung sebagai sebuah kebodohan global di bawah pengawasan ketat masyarakat global yang kini mempunyai akses luar biasa bebasnya terhadap berbagai informasi yang diinginkannya.
Apa yang dapat menyebabkan kebodohan itu bisa tetap bertahan hanyalah ketidakpedulian dan ketidaksadaran kita atas kekuasaan individu yang kita miliki. Ini adalah sebuah gambaran distopia.
2. Perlunya Berpikir Positif dan Menjadi Individu Terbuka
Meskipun diterbitkan pada tahun 1990, berbagai penjelasan dalam Megatrends 2000 itu masih relevan dipakai untuk mengupas realitas masa kini. Realitas yang berlangsung setelah 32 tahun berlalu.
Kita perlu berpikir positif bahkan dalam menanggapi berbagai informasi negatif yang berseliweran di antara kita. Jangan-jangan informasi negatif ini asalnya dari sumber yang beraninya hanya dengan cara keroyokan, sambil bersembunyi di antara kerumunan yang riuh.
Naisbitt menjelaskan tentang matinya usaha kolektif di masa kejayaan individu. Di dalam semua struktur kolektif, agama yang terorganisasi, serikat pekerja, partai Komunis, perusahaan besar, partai politik, kota, pemerintahan, terdapat kemungkinan untuk bersembunyi dari tanggung jawab individual seseorang.
Pada tingkat individu, kemungkinan itu tidak ada. Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Prinsip pertama dari gerakan abad baru ini adalah doktrin tanggung jawab individu. Ini adalah versi Barat dari dogma Timur Kuno mengenai karma, bahwa setiap tindakan membangkitkan konsekuensi yang akhirnya akan didahapi oleh si pelaku.
Pandangan tentang tanggung jawab individu di abad baru ini menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk semua yang ia lakukan.
Namun, ini bukanlah jenis individualisme yang memandang "setiap orang untuk dirinya sendiri," yang memuaskan hasrat seseorang demi dirinya sendiri dan persetan dengan semua orang yang lain.
Ini adalah filosofi etika yang menaikkan individu ke tingkat global. Bahwa kita semua punya tanggung jawab individu untuk melestarikan lingkungan, mencegah perang nuklir, menghapus kemiskinan, termasuk tanggung jawab menghadapi pandemi, dan lain sebagainya.
Dalam pandangan ini, penting untuk kita berpikir, bila dia tidak mau divaksin setidaknya saya mau untuk kepentingan kami bersama. Bila dia tidak mau menggunakan masker, setidaknya saya menggunakannya untuk kepentingan kami bersama.
Sebab, bila dia baik-baik saja tanpa itu semua, tanpa vaksin dan tanpa masker, mungkin sebenarnya memang saya yang memerlukannya. Agar saya tidak menulari orang lain dengan penyakit yang saya punya.
Bila saya memiliki kesadaran demikian, setidaknya saya sudah menjalankan tanggung jawab saya sebagai individu di tengah tantangan global. Saya tidak bersembunyi dalam tanggung jawab itu.
Tambahan Informasi, Sekadar Penutup
Mungkin tidak enak rasanya bila kita disuruh ikut memikul tanggung jawab atas sesuatu yang bukan menjadi pilihan kita. Namun, begitulah kenyataannya, apa yang terjadi kini rasanya bukan tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Atau bisa jadi ini adalah buah impian dari masa lalu untuk masa depan sesudahnya.
Dasawarsa pertama dari abad baru menjelang milenium ketiga disebut oleh Naisbitt dalam buku terbitan tahun 1990 itu sebagai abad baru vaksin. Abad di mana bioteknologi dapat melicinkan jalan menuju era baru dalam perawatan kesehatan.
Melalui rekayasa genetik dimungkinkan untuk memberi vaksin sepenuhnya terhadap banyak penyakit dengan satu tusukan di lengan. "Rekayasa genetik akan menghasilkan penciptaan abad baru vaksin," ujar Dr. Kenneth Warren, seorang anggota Yayasan Rockefeller.
Kenyataan masa kini bisa jadi membuat kita merasa perlu untuk sekilas menoleh kembali ke belakang terkait asal muasal semua ini. Kita belum bisa memastikan kenyataan masa depan barangkali hanya karena kita tidak mengerti apa yang terjadi saat ini.
Mungkinkah sebagian orang yang mengerti sedang menyiapkan masa depan? Saya hanya bisa menjalankan tanggung jawab pribadi sambil mengharapkan yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H