Dulunya, lokasi sekitar masjid ini, yang kini menjadi kawasan pasar buah dan sayuran, merupakan kawasan hutan. Jadi, pembangunan masjid pada masa itu menggunakan papan yang diolah dari kayu-kayu hutan di sekitar lokasi masjid.
Pembangunan Masjid Lama Kabanjahe ini juga didukung oleh Tuanku Abdul Aziz, Sultan Langkat pada masa itu, dengan menyumbangkan uang sebesar Rp250. Jumlah yang mungkin sangat besar pada masa itu.
Hal ini menjelaskan mengapa bangunan masjid ini bercorak Melayu. Mulai dari atapnya yang berbentuk limas dan berundak, bukan berbentuk kubah sebagaimana umumnya bangunan masjid yang dibangun pada masa sekarang.
Motif resplang bangunan masjid juga bercorak teras-teras rumah Melayu. Obrolan kami bersama Muhammad Siddik Surbakti sebagai nazir masjid berlangsung santai dan hangat di teras masjid yang berlanggam Melayu ini.
Sebagai sesama putra Karo, saat ngobrol di teras Masjid berlanggam Melayu ini, kami mensyukuri salah satu rahmat Tuhan bagi Tanah Karo. Bahwa kerukunan umat beragama tetap terjaga di Tanah Karo hingga hari ini.
Tetaplah kiranya kerukunan itu terjaga dan lestari selama hayat dikandung badan. Biarlah kemarin luput dari perhatian, tapi janganlah sampai salah satu saksi sejarah kerukunan umat beragama di Nusantara ini menjadi terlupakan.
Saya pamit ke Pak Siddik, sambil kami saling berbalas mengucapkan, Mejuah-juah.