Untuk mewujudkan niat ini jelas tidak cukup dengan sekadar bermimpi. Sebab bagaimanapun manusia harus terlebih dahulu tertidur untuk bisa bermimpi.
Sebaliknya, untuk mewujudkan sebuah rencana besar yang berdimensi spiritual dan ekologi, perlu dihidupi sebuah visi melalui kerja nyata dengan tekun dan setia. Sebagaimana ungkapan dari Ravi Zacharias, pembela evangelikalisme tradisional yang disebut sebagai apologis agung pada zaman ini, bahwa di mana mata difokuskan, di sana imajinasi menemukan bahan bakunya. Fokus yang tepat harus dimenangkan dengan biaya besar dan disiplin.
Di sanalah sisi Adventus (penantian) yang hendak dihidupkan dalam hati sanubari jemaat, masyarakat, dan siapa pun yang menaruh perhatian atas pembangunan gedung gereja sekaligus kawasan wisata rohani ini menemukan aktualisasinya.
Apa yang hendak dibangun bukan sekadar bangunan mati, melainkan sebuah kapsul waktu yang akan membawa sebuah pesan, berjalan melintasi waktu dan akan hidup sebagai sebuah situs warisan.Â
Gereja dan kawasan wisata rohani Siosar ini menyimpan sebuah "pesan rahasia" yang mungkin akan dibuka oleh generasi selanjutnya pada suatu ujung masa penantian, bisa 30, 50, 100 tahun atau lebih.
Gambaran Semangat Toleransi
Lokasi pembangunan gereja ini berdampingan dengan Masjid Siosar yang sudah lebih dulu berdiri. Masyarakat yang mengunjungi gereja bisa menyaksikan galeri pesona alam, histori Sinabung dan Siosar.
Gereja gunung dan Masjid di Siosar yang berdiri berdampingan memberikan gambaran akan nilai toleransi di Siosar dan juga di Indonesia. Semangat toleransi di sana kiranya akan menyambut hangat siapa pun yang akan datang berkunjung ke sana.
Masyarakat yang eksodus akibat bencana erupsi, kini bermukim di sebuah kawasan permukiman yang konon adalah salah satu di antara yang paling tinggi di Tanah Karo dan Sumatra Utara, sebuah kawasan dengan panorama alam yang sangat indah. Kesemuanya adalah perpaduan kontekstual nilai-nilai filosofis budaya Karo dalam sudut pandang ekologi, kebencanaan, teologia, dalam bingkai sebuah visi.