Pada tahun 2018 jemaat Bekerah Simacem juga bergotong-royong membangun gereja sementara yang mereka namakan sebagai "Gereja Kayu". Material bangunan memang sebagian besar dari kayu, dengan atap seng dan beralas tanah.
Hidup kurang lebih selama lima tahun di kawasan relokasi Siosar, membawa kenormalan baru bagi jemaat gereja khususnya dan masyarakat secara umum. Mereka yang bukan lagi pengungsi mulai menatap masa depan sambil melupakan masa lalu yang pahit sebagai pengungsi.
Ada sebuah gambaran sederhana tentang kehidupan warga desa ini yang diungkapkan oleh seorang warga desa yang juga pelayan jemaat gereja bermarga Pelawi. Katanya begini:
"Ada 5.000 meter persegi lahan olahan untuk kami bisa bertani, disediakan rumah permanen berukuran 5x5m dengan lahan rumah seluas 5x10m. Anak-anak kami kini sudah ada yang kawin-mawin. "
Rumah kecil nan bersahaja itu kini harus dibagi dua, karena sudah ada dua kepala keluarga di dalamnya. Lalu, lahan pertanian akan harus dibagi entah menjadi berapa untuk kami usahai bersama keluarga baru anak-anak kami yang datang kemudian.
Bagaimana kondisi ini akan mampu mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga di kawasan relokasi Siosar dalam jangka panjang?
Spiritualitas berdimensi Ekologi, dari Gereja Kayu ke Gereja Gunung, Mimpi atau Visi?
"Kita perlu belajar setia dalam masalah. Orang yang meyakini dirinya setia akan memperoleh damai sejahtera, sebab hati dan pikirannya bersatu dengan jiwa raganya. Jiwa yang teguh memampukan kita menghadapi masalah-masalah dalam kesetiaan."
Kutipan ini disadur dari khotbah pendeta Krismas Imanta Barus yang memimpin ibadah peletakan batu pertama dan penggalangan dana pembangunan gedung gereja Bekerah Simacem di Siosar pada Minggu, 28 November 2021 yang lalu. Tidak saja menarik dalam dimensi spiritualitas terkait histori jemaat kedua desa yang eksodus akibat bencana hingga tinggal menetap di Siosar ini.