Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menatap Masa Depan Peninggalan Budaya Karo dan Secercah Asa dari Desa Lingga

16 November 2021   17:00 Diperbarui: 21 November 2021   01:58 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak bermain di sebuah bangunan adat Karo di Desa Lingga, 16/11/2021 (Dok. Pribadi) 

Semua orang mungkin pernah bertanya tentang pertanyaan yang hidup sepanjang masa, "Dari mana saya berasal? Apa arti hidup? Bagaimana cara menetapkan apa yang benar dan yang salah? Apa yang terjadi kepada saya ketika saya mati?" Pertanyaan-pertanyaan itu menurut Ravi Zacharias adalah titik tumpu dari keberadaan atau eksistensi manusia.

Dia yang bernama lengkap Frederick Antony Ravi Kumar Zacharias (26 Maret 1946 - 19 Mei 2020) adalah seorang pembela evangelikalisme tradisional kelahiran India dan berkebangsaan Kanada-Amerika Serikat. Ada yang menyebut Zacharias sebagai seorang "apologis agung pada zaman kita."

Memadupadankan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang diajukan Zacharias sebagai titik tumpu dalam hubungan nilai-nilai tradisional lokal Tanah Karo, kali ini kita kembali akan menatap sebuah kenyataan sosial budaya yang masih bertahan di tengah kehidupan orang-orang Karo di sebuah desa bernama Desa Lingga.

Sekilas tentang Desa Lingga dan Rumah Adat Karo

Desa Lingga adalah salah satu desa yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Desa ini berada pada ketinggian sekitar 1.200 mdpl, dan berjarak lebih kurang 15 km dari Brastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.

Menurut penuturan salah seorang pemuda desa Lingga yang juga pemerhati budaya Karo, bernama Fusan Sinulingga yang biasa juga dipanggil Simpai, pada tahun 2019 yang lalu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karo telah mendaftarkan 3 desa di Kabupaten Karo untuk ditetapkan menjadi desa budaya. Ketiga desa itu adalah Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat, Desa Dokan dan Desa Pengambatan Kecamatan Merek.

Namun, baru pada tahun 2021 ini, dua desa dari Kabupaten Karo ini diterima dan ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Desa Pemajuan Kebudayaan, yakni Desa Lingga dan Desa Dokan. Ada 365 desa se-Indonesia yang ditetapkan sebagai Desa Pemajuan Kebudayaan pada tahun ini.

Program Pemajuan Kebudayaan Desa Tahun 2021 ini merupakan salah satu program prioitas Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Program ini merupakan platform kerja bersama membangun desa mandiri melalui peningkatan ketahanan budaya dan kontribusi budaya desa di tengah peradaban dunia.

Beberapa hal yang bisa dijumpai di desa Lingga dan mencirikannya sebagai desa budaya adalah keberadaan bangunan-bangunan tradisional Karo antara lain, dua buah rumah adat Karo, jambur, geriten, lesung, dan museum Karo Lingga. Di samping itu, banyak juga bangunan rumah penduduk, gapura desa, dan kuburan yang dibangun dengan hiasan ornamen Karo pada bangunannya.

Rumah Adat

Di desa ini masih terdapat dua buah rumah adat Karo yang masih terawat. Namun, salah satunya kini tidak lagi ditempati.

Salah satu rumah adat yang masih berdiri di Lingga bernama "Rumah Raja". Dulunya rumah ini dihuni oleh 8 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan, sehingga disebut juga "rumah si waluh jabu" (delapan keluarga).

Tidak ada papan informasi yang menjelaskan kapan rumah adat ini dibangun. Rumah ini juga kini tidak lagi dihuni oleh warga, tapi kondisinya masih terawat dan sering dipakai oleh pasangan calon pengantin untuk membuat foto pre wedding.

"Rumah Raja" di Desa Lingga (Dok. Pribadi)

Rumah yang satu lagi bernama "Rumah Belang Ayo", yang kalau diterjemahkan langsung berarti rumah lebar muka. Rumah adat yang satu ini masih dihuni oleh 5 kepala keluarga, jadi hanya 3 bagian rumah adat untuk 8 keluarga ini yang tidak dihuni.

Dari papan informasi yang terpasang di depan halaman rumah adat ini, pendiri Rumah Belang Ayo adalah Sinulingga Rumah Jahe dan kerabatnya yang dibangun pada tahun 1862. Jadi, sampai saat ini rumah adat yang satu ini sudah berumur 159 tahun.

"Rumah Belang Ayo" di Desa Lingga (Dok. Pribadi)

Jambur

Bentuk jambur mirip dengan rumah adat, bedanya jambur tidak berpanggung seperti rumah adat dan tidak berdinding. Jambur digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta adat dan sebagai tempat pelaksanaan musyawarah.

Dulu jambur juga digunakan sebagai tempat untuk mengadili orang-orang yang melanggar perintah raja dan hukum adat yang berlaku. Pada masa sekarang sudah banyak penyesuaian bentuk dan bahan bangunan jambur, di antaranya penggunaan seng sebagai atap menggantikan ijuk.

"Jambur" tempat untuk pelaksanaan pesta adat di Desa Lingga (Dok. Pribadi)

Kantur

Kantur (kantor, bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Belanda) pada masa lalu merupakan kantor Sibayak (raja). Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan Sibayak dengan pemuka-pemuka masyarakat, digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan letaknya di sebelah timur "Rumah Raja".

"Kantur Sibayak" di Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Menurut penuturan salah seorang warga desa bermarga Tarigan yang kebetulan tinggal dekat dengan bangunan ini, pada masa lalu di tempat ini juga diputuskan hukuman bagi para pelanggar hukum adat, dan tempat melakukan penjatuhan hukuman yang bentuk hukumannya pada masa sekarang bisa dibilang cukup sadis.

Bangunan
Bangunan "Kantur Sibayak" yang kini digunakan sebagai taman baca (Dok. Pribadi) 
Saat ini bangunan ini digunakan sebagai taman baca, tapi kondisi bahan-bahan bacaan dan penataannya masih banyak yang perlu dibenahi. 

Geriten

Geriten berbentuk rumah adat, tapi dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Geriten digunakan untuk menyimpan kerangka kerabat yang telah meninggal.

Salah satu geriten di Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Salah satu geriten di Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Namun, kini geriten juga banyak digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat, dan tempat bermain anak-anak. 

Lesung

Lesung adalah bangunan yang pada masa lalu digunakan untuk menumbuk padi, atau menumbuk beras menjadi tepung. Namun, pada masa sekarang bangunan ini jarang digunakan karena dirasa kurang efisien dari sisi waktu dan cukup menguras tenaga.

Bangunan lesung di Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Bangunan lesung di Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Sementara itu, museum Karo Lingga saat ini masih dalam masa renovasi, sehingga kurang banyak informasi yang bisa digali dari sana.

Museum
Museum "Karo Lingga" yang dalam tahap renovasi (Dok. Pribadi)

Secercah Asa dari Anak Muda Desa Lingga di Sanggar Seni "Nggara Si Mbelin"

Nama sanggar seni ini, "Nggara Si Mbelin", diambil dari salah satu nama hari dalam kalender tradisional suku Karo. Kebetulan terbentuknya sanggar seni ini adalah pada hari itu.

Dalam kepercayaan tradisional suku Karo, hari ini adalah hari yang baik untuk membangun rumah, baik untuk bermusyawarah dengan kalimbubu (pihak pemberi istri atau pihak dari keluarga ibu yang wajib untuk dihormati dalam sistem kekerabatan suku Karo), tapi kurang baik untuk melaksanakan pesta adat.

Sanggar seni ini berdiri pada tahun 2014. Pendiriannya diniatkan sebagai wadah untuk menggali segala hal yang terkait dengan budaya Karo, baik itu seni, keterampilan hidup, kuliner, aksara, maupun tatanan sosial budaya Karo dalam arti luas.

Berbagai jenis alat musik tradisional Karo di sanggar seni
Berbagai jenis alat musik tradisional Karo di sanggar seni "Nggara si Mbelin" (Dok. Pribadi)

Berbagai jenis alat musik tradisional Karo di sanggar seni
Berbagai jenis alat musik tradisional Karo di sanggar seni "Nggara si Mbelin" (Dok. Pribadi)

Pengasuh atau pelatih di sanggar seni ini ada 5 orang, ada orang tua dan juga pemuda-pemudi desa Lingga. Salah satu di antara mereka yang menjadi narasumber untuk tulisan ini adalah Fusan Sinulingga yang biasa juga dipanggil Simpai.

Bersama Fusan Sinulingga (Simpai), pelatih sanggar seni
Bersama Fusan Sinulingga (Simpai), pelatih sanggar seni "Nggara Si Mbelin" Desa Lingga (Dok. Pribadi)
Saat ini anak-anak dan remaja binaan sanggar ini ada 50 orang, seluruhnya warga Desa Lingga. Awalnya sanggar ini dibuka untuk umum, tapi akhir-akhir ini khusus dibuka bagi anak mulai usia SD dan remaja usia SMP.

Menurut Simpai Sinulingga, ada kesulitan tersendiri apabila membina remaja usia SMA. Katanya, karena pada pemuda-pemudi yang saat ini berada di usia SMA inilah terjadi masa-masa lompatan cepat teknologi, sehingga terasa lebih sulit menyampaikan soal-soal yang berkaitan dengan seni dan budaya tradisional Karo kepada mereka.

"Anak-anak yang sekarang masih berada pada usia SD atau SMP lebih cocok dibekali soal-soal seni dan kebudayaan, dan itu akan menjadi sebuah pondasi yang kokoh bagi mereka yang memiliki minat tinggi untuk mendalami soal-soal seni dan kubudayaan tradisional Karo," lanjut Simpai Sinulingga.

Segala upaya yang dilakukan di sangggar seni ini digerakkan oleh sebuah harapan jauh ke depan. "Apa yang terjadi setelah 10 tahun mendatang mungkin tidak bisa kita tebak, tapi nilai seni, sosial, dan budaya yang telah mengakar pada diri mereka semoga bisa menjadikan mereka pemimpin-pemimpin Tanah Karo masa depan yang berkarakter budaya Karo," kata Simpai dengan ramah.

Bisa dikatakan, niat para pegiat seni dan kebudayaan Karo di sanggar ini tidak terlepas dari keinginan untuk lahirnya generasi muda yang memiliki keinginan kuat untuk membangun desanya dalam segala aspeknya, termasuk sosial budaya. Hal itu diyakini akan bisa lebih terwujud bila di setiap desa semakin bertumbuh semangat membangun komunitas yang mencintai budaya dan penuh keinginan kuat untuk memajukan desanya.

Semangat sanggar seni ini tidak sekadar omongan, karena mereka masih membiayai sendiri operasionalnya secara swadaya. Swadaya para pengasuh, pelatih dan anak-anak didiknya. Sesekali mereka menjual cimpa (penganan khas suku Karo) ke masyarakat desa untuk menggalang dana.

Sanggar seni "Nggara Si Mbelin" ini sudah banyak mengisi acara di Tanah Karo khususnya. Termasuk yang paling anyar adalah acara roadshow Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkeliling Indonesia dalam rangka memperkenalkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba.

Dalam acara dimaksud, yang dilaksanakan pada 13 Nopember 2021 yang lalu di Balige, ada 4 orang anak asuh sanggar seni "Nggara Si Mbelin" desa Lingga yang lolos seleksi nasional dan ikut mengisi acara bersama dengan 1 orang anak asuh dari sanggar seni kelurahan Gung Leto, Kecamatan Kabanjahe, dan  1 orang dari sanggar seni desa Dokan, Kecamatan Merek. Kelanjutan acara dimaksud akan dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta, pada 17/11, di Kota Medan pada 18/11, dan di Kota Padang pada 22/11 ini.

Selain mengisi undangan-undangan acara, sanggar seni "Nggara si Mbelin" desa Lingga juga beberapa kali sudah melaksanakan acara sendiri. Misalnya pada Januari 2021 yang lalu, mereka melaksanakan sebuah acara Tagus.

Tagus adalah sebuah prosesi atau ritual adat pada suku Karo yang bermakna sebagai upaya pengusiran atau tolak bala. Hal ini berkaitan dengan pandemi yang melanda hampir seluruh belahan bumi. Dalam bahasa Karo pandemi itu lebih dikenal masyarakat sebagai laya-laya.

Selain itu, dalam rangka menggerakkan pariwisata dalam hubungan desa Lingga sebagai desa budaya, sanggar seni ini juga melaksanakan "Festival Budaya Lingga" bersamaan dengan pelaksanaan pesta panen (kerja tahun) pada tanggal 23 Oktober 2021 yang lalu.

Dari hasil bincang-bincang kami, di sela menghadiri rangkaian acara adat Karo pesta pernikahan salah satu kerabat saya, bisa disimpulkan bahwa banyak asa dari sekian banyak sanggar seni dan budaya yang ada di Tanah Karo. Namun, belum ada pemahaman yang mendalam dari semua stakeholder (kelompok kepentingan) tentang pentingnya peran sanggar seni dalam upaya pelestarian nilai-nilai sosial dan budaya khususnya bagi generasi muda, di tengah kepungan kemajuan zaman yang semakin canggih.

Untuk itu tentu perlu dukungan banyak pihak, termasuk pemerintah desa, pemerintah daerah, agar inisiatif dan ide-ide kreatif warga desa yang tumbuh dalam komunitas ini bisa semakin berkembang dan mendukung kemajuan desa dan daerah.

Simpai Sinulingga menyampaikan harapannya dengan raut wajahnya yang ramah. Sore itu ada beberapa orang anak yang sedang bersiap-siap untuk berlatih. Ada yang bermain kulcapi (kecapi), surdam (sejenis seruling), dan yang lain bersiap untuk latihan menari.

Remaja Desa Lingga yang sedang berlatih memainkan alat-alat musik tradisional Karo (Dok. Pribadi)
Remaja Desa Lingga yang sedang berlatih memainkan alat-alat musik tradisional Karo (Dok. Pribadi)

Bila pemerintah hadir dengan regulasi yang memungkinkan tumbuhnya minimal satu komunitas seni budaya di setiap desa, maka akan ada ratusan komunitas sanggar seni dan budaya yang siap mempersembahkan ide-ide kreatif mereka yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Tentu itu baik adanya, sebelum segala hal tentang tradisional tinggal kenangan dan kita hanya pernah mengingatnya.

"Di mana mata difokuskan, di sana imajinasi menemukan bahan bakunya. Fokus yang tepat harus dimenangkan dengan biaya besar dan disiplin. Latih mata untuk melihat yang baik, dan imajinasi akan mengikuti." -Ravi Zacharias

Mejuah-juah.

Rujukan: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun