Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Merayakan Ulang Tahun, Belajar kepada Kehidupan, Satu Jam di Katimbulan

24 Oktober 2021   22:31 Diperbarui: 25 Oktober 2021   13:09 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merayakan kehidupan di Katimbulan, Tanah Karo (Dok. Pribadi)

Jurnalisme seperti ini pun membuka kemungkin untuk kita belajar memunculkan suatu jurnalisme sastrawi. Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa jurnalisme adalah sastra yang tergesa-gesa.

Waktu jualah yang akan mengasah pengalaman dan kepekaan seperti itu hingga menjadi pengetahuan bahkan kebijaksanaan. Bukankah kita juga diajarkan bahwa belajar adalah proses seumur hidup?

Jadi, lumrah adanya bila kita perlu sekali untuk belajar kepada kehidupan. Adalah manusiawi juga bila orang yang masih belajar sering kali melakukan kesalahan.

Unsur sastrawi dalam tulisan sederhana dari seseorang yang masih belajar dan berusaha menjadi jurnalis warga bisa saja hanya tampak sebagai lukisan suara tonggeret pada suatu sore menjelang malam di tepi jalan menuju perladangan pada sebuah desa. Rasa dalam kicau burung, suara jangkrik, suara katak, desir angin, gemericik sungai, dan hal-hal yang tampak sepele lainnya.

Menangkap ikan dengan jala di sebuah kolam di Katimbulan, Tanah Karo (Dok. Pribadi)
Menangkap ikan dengan jala di sebuah kolam di Katimbulan, Tanah Karo (Dok. Pribadi)

Bagi seorang jurnalis warga yang bersahaja, liputan lapangan yang dianggit menjadi artikel bernuansa sastrawi dalam tampilan paling sederhana sekali pun, sejatinya diliput dengan penuh cinta. Sang jurnalis menapaki jalanan untuk mengumpulkan bahan-bahan.

Sebagai bentuk ungkapan syukur atas ulang tahun Kompasiana yang ke-13 pada tahun 2021 ini, saya masih akan mengutip sebuah ungkapan bijak dari Romo Shindunata, seorang jurnalis dengan jejak langkah yang panjang. Romo yang juga seorang jurnalis Kompas ini adalah sosok yang melayankan firman Tuhan dalam ibadah pemakaman pendiri harian kompas, DR (HC) Jacob Oetama yang berpulang pada 9 September 2020 silam.

"Bagi saya pekerjaan pertama wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan," kata Romo Shindu. Dan karena pekerjaan itu adalah pekerjaan kaki, maka sang jurnalis mengenakan sepatu yang kotor.

Dia menjejak lapangan, terjun ke dalam dan menyelami kenyataan. Sepatu kotor adalah indikasi bahwa dalam pencarian bahan cerita di balik peristiwa, dia tidak sedang menjejakkan kaki di jalan surga. Melainkan kotor bak berladang pada sebuah bentangan tanah yang dipenuhi sederet fakta yang tidak terisolasi.

Setiap fakta yang tersebar bisa saja saling berhubungan. Dia hanya perlu menambah pengalaman dan mengasah kepekaan untuk mempu menangkap sebuah gambaran besar.

Tidak mudah, tapi tetap saja mungkin. Namanya juga masih dan sedang belajar menjadi jurnalis warga dalam rumah bersama bernama Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun