Sebuah rumus pengetahuan yang oleh Yuval Noah Harari disebut "Jalan Bata Kuning" memperkenalkan jalan alternatif humanisme. Sebagaimana halnya bila kita menemukan kebuntuan atau kemacetan pada suatu ruas jalan dalam arti sebenarnya, maka kita umumnya akan mencari jalan alternatif.
Katanya, pengetahuan dalam jalan alternatif itu adalah kombinasi antara pengalaman dan kepekaan. Pengetahuan didapat dengan menjangkau pengalaman dalam diri kita dan mengamatinya dengan kepekaan yang tinggi.
Kita perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan pengalaman dan mempertajam kepekaan. Sensitivitas atau kepekaan dalam sudut pandang ini tidak sama dengan kemahiran abstrak yang bisa dikembangkan dengan membaca buku atau dengan mengikuti sebuah kelas kuliah.
Namun, pengetahuan seperti ini didapatkan dengan mengasah keterampilan praktis yang hanya bisa menjadi matang dengan menerapkannya melalui praktik lapangan. Saya menggunakan sudut pandang ini untuk mensyukuri pengalaman dan keberadaan selama 3 tahun bergabung di dalam blog jurnalisme khalayak bernama Kompasiana yang berulang tahun ke-13 pada 22 Oktober 2021 yang lalu.
Menurut penjelasan Yuval, ayat utama humanisme adalah menciptakan makna bagi sebuah dunia yang tidak bermakna. Kemudian Wilhelm van Humboldt, sang arsitek utama sistem pendidikan modern pada awal abad ke-19, menjelaskan bahwa tujuan dari eksistensi adalah penyulingan seluas mungkin pengalaman kehidupan menjadi kebijaksanaan.
Hanya ada satu puncak dalam kehidupan, yakni mengukur kedalaman perasaan atas segala hal yang manusiawi. Begitulah moto kaum humanis.
Barangkali cara pandang inilah yang menjodohkan rasa ketika bersua untuk pertama kalinya dengan Kompasiana pada 28 Oktober 2018 yang lalu. Tunas kecil semangat untuk ikut berliterasi melaluinya pun mulai bersemi.
Sebagai orang awam dalam dunia kepenulisan, saya hanya menulis hal yang remeh-temeh melalui Kompasiana. Namun, siapa lagi yang akan bersedia memungut serpihan remah-remah pelajaran dari keseharian kita bila bukan kita sendiri sebagai warga.
Meskipun bukan seorang jurnalis profesional, minimal Kompasiana telah memberikan kemungkinan untuk kita di dalamnya bisa membuat berita atas diri kita, keluarga, adat, budaya, dan alam kampung halaman kita sendiri. Kita bisa menuliskan kisah inspiratif dari seorang penyapu jalan, seorang buruh tani, dan orang-orang bersahaja lainnya di sekitar kita melalui Kompasiana.
Jurnalisme seperti ini pun membuka kemungkin untuk kita belajar memunculkan suatu jurnalisme sastrawi. Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa jurnalisme adalah sastra yang tergesa-gesa.
Waktu jualah yang akan mengasah pengalaman dan kepekaan seperti itu hingga menjadi pengetahuan bahkan kebijaksanaan. Bukankah kita juga diajarkan bahwa belajar adalah proses seumur hidup?
Jadi, lumrah adanya bila kita perlu sekali untuk belajar kepada kehidupan. Adalah manusiawi juga bila orang yang masih belajar sering kali melakukan kesalahan.
Unsur sastrawi dalam tulisan sederhana dari seseorang yang masih belajar dan berusaha menjadi jurnalis warga bisa saja hanya tampak sebagai lukisan suara tonggeret pada suatu sore menjelang malam di tepi jalan menuju perladangan pada sebuah desa. Rasa dalam kicau burung, suara jangkrik, suara katak, desir angin, gemericik sungai, dan hal-hal yang tampak sepele lainnya.
Bagi seorang jurnalis warga yang bersahaja, liputan lapangan yang dianggit menjadi artikel bernuansa sastrawi dalam tampilan paling sederhana sekali pun, sejatinya diliput dengan penuh cinta. Sang jurnalis menapaki jalanan untuk mengumpulkan bahan-bahan.
Sebagai bentuk ungkapan syukur atas ulang tahun Kompasiana yang ke-13 pada tahun 2021 ini, saya masih akan mengutip sebuah ungkapan bijak dari Romo Shindunata, seorang jurnalis dengan jejak langkah yang panjang. Romo yang juga seorang jurnalis Kompas ini adalah sosok yang melayankan firman Tuhan dalam ibadah pemakaman pendiri harian kompas, DR (HC) Jacob Oetama yang berpulang pada 9 September 2020 silam.
"Bagi saya pekerjaan pertama wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan," kata Romo Shindu. Dan karena pekerjaan itu adalah pekerjaan kaki, maka sang jurnalis mengenakan sepatu yang kotor.
Dia menjejak lapangan, terjun ke dalam dan menyelami kenyataan. Sepatu kotor adalah indikasi bahwa dalam pencarian bahan cerita di balik peristiwa, dia tidak sedang menjejakkan kaki di jalan surga. Melainkan kotor bak berladang pada sebuah bentangan tanah yang dipenuhi sederet fakta yang tidak terisolasi.
Setiap fakta yang tersebar bisa saja saling berhubungan. Dia hanya perlu menambah pengalaman dan mengasah kepekaan untuk mempu menangkap sebuah gambaran besar.
Tidak mudah, tapi tetap saja mungkin. Namanya juga masih dan sedang belajar menjadi jurnalis warga dalam rumah bersama bernama Kompasiana.
Selamat ulang tahun Kompasiana. Engkau mungkin bukan cinta pertama dan terakhir.
Tetaplah bertumbuh selagi berjalan dalam pubertas di usia yang ke-13. Bahkan labilitas masa puber adalah indikasi normal tahap pertumbuhan menuju kematangan dan kedewasaan dalam sebuah umur panjang.
Ucapan terima kasih setulus hati, karena melalui Kompasiana saya bisa bertemu banyak orang, mendapatkan banyak teman dan pengalaman, serta belajar mengasah kepekaan. Kompasianer juga tidak sekadar menjadi konsumen media dengan hanya menelan segala sesuatunya.
Meskipun tidak sempurna, tapi Kompasiana memberikan kesempatan untuk membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin dibaca. Semoga dalam perjalanan selanjutnya, kita sama-sama bisa menemukan sisi lain bahan cerita saat belajar kepada kehidupan.
Kali ini kami melangkah bukan dengan sepatu kotor, melainkan hanya sepasang kaki telanjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H