Degol tampak tegar. Rambutnya keras seperti ijuk karena terbakar sinar matahari. Mungkin ia juga jarang mandi.
Namun, sinar matanya sangat cerah berbinar. Begitulah gunung dengan alamnya yang keras memurnikan jiwa-jiwa yang tegar seperti Degol. Tidak tampak keluh kesah di air muka anak lajang kebanggan Tejo ini.
Manti membantu ibunya menyiapkan makan malam. Sebakul nasi putih, beberapa potong tempe goreng ditemani sambal terasi dan daun ubi rebus terhidang di atas tikar plastik lusuh yang terbentang di atas lantai rumah mereka yang kupak-kapik di sana sini.
"Ti, sana panggil bapakmu. Kita makan sama-sama," kata Surti begitu Degol muncul setelah berganti pakaian.
"Ya, Bu."
"Pak, ayo makan malam sudah siap," kata Manti memanggil ayahnya yang kali ini terpaku menatap langit-langit di atas dipan teras gubuk mereka.
"Ayolah, bapak segera datang," jawab Tejo yang tersentak dari lamunannya.
Surti sudah menyendok nasi putih hangat ke empat piring kaleng tua yang disusun mengitari sajian makan malam mereka yang apa adanya. Tejo mengambil sepotong tempe dan kelengkapannya ke dalam piring miliknya.
Doa makan pun dilantunkan sebelum santapan pertama, ditengahi deru angin bulan Oktober yang senang bersenda gurau bersama musim kemarau. Kali ini giliran si bungsu Manti membawakan doa makan malam.
"Terima kasih, Tuhan. Berkatilah makanan kami. Sehat-sehat kami semuanya. Ampunilah kesalahan kami. Dalam namaMu kami berdoa. Amin."
Di ujung doa itu, Tejo merasakan sesuatu yang asin. Bukan karena rebusan daun ubi kelebihan garam. Air matanya mungkin jatuh ke dalam, membasahi kerongkongannya sendiri mendahului air liurnya yang hampir kering, lenyap bersama angin musim kemarau.