Kita mungkin seringkali mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa yang enak belum tentu sehat. Sebaliknya, rasa pahit adalah penghalang kecil di mulut gerbang dari sejuta kebaikan yang menunggu di baliknya. Bukankah pahit adalah asosiasi yang sangat umum dari rasa obat?
Mempertentangkan rasa dan manfaat, seringkali membawa kita berapologetika. Kita membela diri, sadar atau tidak. Kita mempertahankan apa yang dirasakan sebagai yang terbaik bagi diri kita sendiri.
Kalaulah bisa, alangkah baiknya mendapatkan sesuatu yang enak dan sehat sekaligus. Seperti maksud ungkapan "cara enak untuk sehat", rasanya mewakili harapan itu dengan sangat baik.
Namun, kenyataannya hidup tidak memberikan kita pilihan semewah itu. Seringkali kita harus memilih salah satunya, mau enak atau mau sehat.
Apa yang menjadi fokus ulasan kita kali ini adalah tentang makanan yang diasap dalam sudut pandang kesehatan. Makanan yang diasap, apakah itu sehat?
Ini bukanlah apologetika buta. Urusan kesehatan memang sebaiknya diserahkan kepada ahlinya. Apa kata mereka?
Sebelum sampai ke sana, saya mau mengajak kita melihat sejenak sebuah kenyataan. Kita mungkin pernah atau sering melihat para survivalis, mereka yang ahli bertahan hidup di alam liar, suka memakan makanan yang tidak dimasak. Padahal mereka bisa saja membuat api untuk memasaknya sebelum dimakan.
Hal itu bisa kita saksikan dalam tayangan film dokumenter seperti yang mudah kita temukan di kanal National Geographic, misalnya. Atau dalam film-film, di mana seorang petualang bertahan hidup di alam liar dengan memburu binatang liar, dan memakan bagian-bagian tertentu tubuh mangsanya segera setelah berhasil mendapatkannya, tanpa dimasak terlebih dahulu.
Asap dan Momen Eureka
Suatu kali saya duduk di sebuah gubuk sambil menjerang air minum dengan ceret di atas tungku kayu bakar. Sambil membakar ilalang hasil membersihkan kebun di belakang rumah, saya memikirkan sesuatu. Pada saat itu hari sangat terik menjelang senja.