Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Filsafat Tungku Kayu Bakar, Pilihan di Antara Romantisme dan Realisme

8 September 2021   23:56 Diperbarui: 9 September 2021   11:41 4846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjerang air di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)

Aroma asap yang menyelimuti air hangat beruap membawa serta semua kenangan indah dari masa yang lalu tentang sebuah kampung yang masih hijau lestari.

Atau bagaimana capek sekaligus serunya memasak gulai ayam atau rendang lembu di sebuah kuali dengan santan yang menggelegak dipanasi lidah-lidah api pada sebuah tungku kayu bakar. Daging yang dimasak dengan kuali di atas kayu bakar itu juga terasa lebih empuk karena dipanasi sangat lama, dan ada aroma smoky yang menggugah selera.

Menggulai ayam dan memasak sup di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)
Menggulai ayam dan memasak sup di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)

Capek, dan mungkin lebih mahal dan lebih repot, belum lagi bila ditinjau dari aspek kesehatan. Semua hal itu barangkali akan dikesampingkan oleh seseorang yang menjadikan rasa suka sebagai dasar pengenalan akan dirinya.

Menjadi romantis berarti menjadi ekspresionis. Tak jarang menikmati sajian yang dimasak dengan tungku kayu bakar justru menjadi sebuah simbol eksistensi bagi masyarakat kelas atas di restoran mewah perkotaan pada masa kini.

Realisme Tungku Kayu Bakar

Pertentangan karena perubahan yang terjadi takjarang melahirkan ketegangan spontan. Dalam situasi ini, bagi orang realis seringkali tindakan adalah yang paling penting dan pertama, pikiran menjadi hal yang kedua.

Bila dikaitkan dengan ungkapan asalkan dapur ngebul, apalagi yang menjadi pertimbangan utama selain faktor ekonomi. Sebagian orang masih bertahan memasak menggunakan tungku kayu bakar karena bahan bakar lain lebih mahal dan sukar didapatkan. Bisa saja dia tidak mampu membayar listrik, bukan karena dia suka.

Ada sebuah publikasi dari Bank Dunia pada Juni 2013 yang berjudul "Indonesia Menuju Akses Universal Memasak Bersih Tanpa Polusi". Di sana dijelaskan bahwa pada tahun 2010 sekitar 40 persen rumah tangga di Indonesia (24,5 juta rumah tangga) menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar utama untuk memasak.

Apalagi sebelum peluncuran program konversi minyak tanah ke LPG. Pemerintah mengurangi pasokan minyak tanah bersubsidi di mana saat itu pasokan LPG belum mampu memenuhi permintaan, akibatnya rumah tangga yang telah beralih ke LPG terpaksa harus kembali menggunakan kayu bakar atau mengkombinasikan antara LPG dan kayu bakar.

Pada masa itu persentase penggunaan kayu bakar meningkat hingga 49 persen di tahun 2007. Namun, setelah pasokan LPG ditingkatkan, penggunaan kayu bakar pun semakin menurun setiap tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun