Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Filsafat Tungku Kayu Bakar, Pilihan di Antara Romantisme dan Realisme

8 September 2021   23:56 Diperbarui: 9 September 2021   11:41 4846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjerang air di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)

Basilang kayu dalam tungku di sinan api mangko hiduik (Peribahasa Minangkabau).

Peribahasa dalam bahasa Minangkabau itu artinya kalau tidak ada perbedaan pendapat tidak akan lahir kata mufakat. Peribahasa yang berkaitan dengan dapur pada suku Minangkabau ini dipinjam sebagai pembuka ulasan tentang tungku kayu bakar yang bertahan hidup di antara romantisme dan realisme.

Kita akan mendapatkan kontras dari sudut pandang filsafat ketika menyelami tungku kayu bakar dalam kacamata romantisme dan realisme. Romantisme menggunakan sudut pandang masyarakat budaya, sementara itu realisme menggunakan sudut pandang masyarakat kelas.

Dari sudut pandang masyarakat budaya (romantisme) kita akan menemukan alasan sebagian orang masih bertahan memasak menggunakan tungku kayu bakar karena itu adalah sesuatu yang dia sukai.

Kesukaan memasak dengan tungku kayu bakar itu lebih akibat pengenalan dan kecintaannya terhadap asal-usulnya. Bagaimana dia hidup dan dibesarkan dengan tungku pada suatu waktu di sebuah desa. Kenangan itu memberikan kenikmatan tersendiri bagi dirinya.

Sementara itu dari sudut pandang masyarakat kelas (realisme), kita akan menemukan suatu dialektika materialis dari dapur. Kenyataan bahwa sebagian orang masih memasak menggunakan tungku kayu bakar, itu adalah realitas tidak terhindarkan akibat ketegangan setidaknya antara harapan dan kenyataan ekonomi.

Oleh sebab itu pengenalan ciri manusia dengan kata kunci filsafat ini menjelaskan dengan mudah bahwa dari apa yang disukai oleh masyarakat budaya kita bisa mengetahui dari mana ia berasal. Sebaliknya, dari apa yang dikerjakan oleh masyarakat kelas, kita bisa mengetahui siapa dia.

Romantisme Tungku Kayu Bakar

Ada banyak alasan yang bisa disampaikan oleh orang romantis tentang kelebihan memasak menggunakan tungku kayu bakar. 

Misalnya saja, ia akan mengatakan bahwa air yang dijerang menggunakan sebuah ceret (ketel) kaleng yang sudah tua di atas nyala api dari tungku kayu bakar akan terasa lebih nikmat dan sehat dari pada menggunakan ketel listrik atau dengan api dari kompor gas.

Aroma asap yang menyelimuti air hangat beruap membawa serta semua kenangan indah dari masa yang lalu tentang sebuah kampung yang masih hijau lestari.

Atau bagaimana capek sekaligus serunya memasak gulai ayam atau rendang lembu di sebuah kuali dengan santan yang menggelegak dipanasi lidah-lidah api pada sebuah tungku kayu bakar. Daging yang dimasak dengan kuali di atas kayu bakar itu juga terasa lebih empuk karena dipanasi sangat lama, dan ada aroma smoky yang menggugah selera.

Menggulai ayam dan memasak sup di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)
Menggulai ayam dan memasak sup di atas tungku kayu bakar (Dokumentasi pribadi)

Capek, dan mungkin lebih mahal dan lebih repot, belum lagi bila ditinjau dari aspek kesehatan. Semua hal itu barangkali akan dikesampingkan oleh seseorang yang menjadikan rasa suka sebagai dasar pengenalan akan dirinya.

Menjadi romantis berarti menjadi ekspresionis. Tak jarang menikmati sajian yang dimasak dengan tungku kayu bakar justru menjadi sebuah simbol eksistensi bagi masyarakat kelas atas di restoran mewah perkotaan pada masa kini.

Realisme Tungku Kayu Bakar

Pertentangan karena perubahan yang terjadi takjarang melahirkan ketegangan spontan. Dalam situasi ini, bagi orang realis seringkali tindakan adalah yang paling penting dan pertama, pikiran menjadi hal yang kedua.

Bila dikaitkan dengan ungkapan asalkan dapur ngebul, apalagi yang menjadi pertimbangan utama selain faktor ekonomi. Sebagian orang masih bertahan memasak menggunakan tungku kayu bakar karena bahan bakar lain lebih mahal dan sukar didapatkan. Bisa saja dia tidak mampu membayar listrik, bukan karena dia suka.

Ada sebuah publikasi dari Bank Dunia pada Juni 2013 yang berjudul "Indonesia Menuju Akses Universal Memasak Bersih Tanpa Polusi". Di sana dijelaskan bahwa pada tahun 2010 sekitar 40 persen rumah tangga di Indonesia (24,5 juta rumah tangga) menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar utama untuk memasak.

Apalagi sebelum peluncuran program konversi minyak tanah ke LPG. Pemerintah mengurangi pasokan minyak tanah bersubsidi di mana saat itu pasokan LPG belum mampu memenuhi permintaan, akibatnya rumah tangga yang telah beralih ke LPG terpaksa harus kembali menggunakan kayu bakar atau mengkombinasikan antara LPG dan kayu bakar.

Pada masa itu persentase penggunaan kayu bakar meningkat hingga 49 persen di tahun 2007. Namun, setelah pasokan LPG ditingkatkan, penggunaan kayu bakar pun semakin menurun setiap tahun.

Daerah dengan tingkat ketergantungan paling rendah akan kayu bakar sebagai energi untuk memasak cenderung lebih maju secara ekonomi. Sebaliknya, daerah dengan tingkat ketergantungan paling tinggi akan kayu bakar untuk memasak cenderung memiliki proporsi rumah tangga dengan pendapatan rendah.

Menimbang Baik Buruk Pilihan dari Kacamata Kesehatan

Dilansir dari alodokter.com, salah satu kondisi yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami keracunan karbon monoksida adalah menggunakan peralatan berbahan bakar termasuk arang dan kayu bakar di dalam ruangan dengan ventilasi yang buruk. Kemiskinan sering kali berkorelasi dengan kondisi rumah yang buruk.

Berdasarkan penjelasan dari sumber yang sama bahwa komplikasi keracunan karbon monoksida pada sekitar 10--15% penderita bisa mengalami komplikasi jangka panjang. 

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi meliputi kerusakan otak, gangguan kemampuan penglihatan atau pendengaran, gangguan memori dan konsentrasi, serta memicu parkinsonisme. Selain itu bisa memicu penyakit jantung dan gangguan pada janin.

Tentu saja ada mekanisme pencegahan untuk meminimalisasi dampak negatif dan risiko keracunan karbon monoksida ini. Namun, kesulitan dalam hal ini adalah kesulitan yang tidak mudah diatasi karena bukan hanya berasal dari luar melainkan dari dalam, terkait kemampuan ekonomi, membuat risiko itu lebih sering seperti terabaikan.

Namun, perlu mengutip kembali sebuah ungkapan dari Minangkabau yang berkaitan dengan dapur. "Dibaliak-baliak bak mamangang," maksudnya untuk berbuat sesuatu harus dipikirkan benar baik dan buruknya.

Seperti romantisme dan realisme yang memiliki landasan pikir dan kelogisan masing-masing, menjelaskan perilaku dan pilihan sikap seseorang dalam menjalani kehidupannya tidak cukup dipandang berdasarkan satu kebenaran tunggal.

Tidak cukup mengenal seseorang dari apa yang terlihat dan nampaknya terukur. Manakala kita sudah mengetahui alasan mengapa seseorang memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu, barangkali saat itu kita sudah mulai mengenalnya.

Sebuah pepatah Minangkabau sebagai penutup. "Manumbuak di lasuang, batanak di pariuak," artinya melakukan sesuatu pada tempatnya.

Salam kayu bakar.

Referensi:

alodokter

"Indonesia Menuju Akses Universal Memasak Bersih Tanpa Polusi", Bank Pembangunan dan Pengembangan Internasional-Grup Bank Dunia, 2013.

"Dapur dan Alat-Alat Tradisional Daerah Sumatera Barat", Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun