Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Beras Piher", Keteguhan Jiwa Memanen Rasa Ketika Pandemi Masih Ada

9 Juli 2021   00:22 Diperbarui: 10 Juli 2021   03:24 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pegangan dari bambu untuk keseimbangan badan saat perontokan pada panen padi (Dokumentasi Pribadi)
Pegangan dari bambu untuk keseimbangan badan saat perontokan pada panen padi (Dokumentasi Pribadi)

Selain yang bertugas me-ngerik ada juga yang bertugas mengibas-ngibaskan (narsari, bahasa Karo) tangkai padi yang sudah diinjak-injak untuk memisahkan sepenuhnya bulir padi dari tangkainya. Bulir padi hasil perontokan ini kemudian dimasukkan ke dalam goni plastik untuk dibawa pulang ke rumah.

Memundak goni hasil panen padi untuk dibawa pulang ke rumah (Dokumentasi Pribadi)
Memundak goni hasil panen padi untuk dibawa pulang ke rumah (Dokumentasi Pribadi)

Setelah itu, keesokan harinya bulir padi dari dalam goni ini dipisahkan antara bulir yang kosong (lapung, bahasa Karo) dengan bulir yang padat dan penuh berisi. Kami menyebut proses ini "iangin" (diangini, bahasa Indonesia).

Dulu sebelum ada mesin blower, ibu-ibu dan bapak-bapak kami biasa memakai nyiru sebagai kipas untuk menghasilkan tiupan angin dalam proses pemisahan ini.

Proses pemisahan bulir padi dengan mesin blower (Dokumentasi Pribadi)
Proses pemisahan bulir padi dengan mesin blower (Dokumentasi Pribadi)
Baru setelah itu, bulir-bulir padi dengan kualitas terbaik dijemur langsung dengan beralaskan terpal plastik di bawah terik sinar matahari hingga bulirnya benar-benar keras (piher, bahasa Karo). Setelah itu, baru bisa dibawa ke kilang penggilingan padi untuk dijadikan beras.

Tahukah kamu, Kawanku? Dalam bahasa Karo ada istilah "beras piher", bila diterjemahkan langsung artinya beras yang keras. Dalam bahasa Toba yang saya ingat istilahnya "boras si pir ni tondi."

Makna kedua ungkapan itu sama. Itu adalah simbol dalam ritus budaya kami untuk memberkati manusia-manusia agar memiliki jiwa dan roh yang kuat.

Kita, aku, dan kamu, kini bisa melihat dan merasakan, bukan? Betapa kerasnya proses alam dan kerja keras manusia, mulai dari menanam, merawat, memanen, hingga bulir-bulir padi itu bisa menjadi beras, sebutir demi sebutir.

Mereka yang membantu proses alam itu, paman dan bibi saya termasuk di antaranya, adalah para petani polos yang hanya tahu bekerja keras. Meskipun begitu, mereka masih tetap saja bisa menemukan hal-hal untuk disyukuri dalam hidup, bahkan untuk dijadikan lelucon agar bisa melewati hidup yang sudah keras dari sananya, bahkan jauh sebelum pandemi melanda.

Kini soalnya bukan lagi tentang pesta kerja tahun yang juga bakalan tidak semeriah tahun-tahun sebelum pandemi itu. Masihkah engkau tega menyia-nyiakan bahkan sebutir saja beras yang lahir dari rahim ibu bumi yang keras itu, Kawanku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun