"Enda prosesna... Sabah Tapin Julun." Begitulah bunyi sebuah pesan yang saya terima kemarin dari adik sepupu melalui Whatsapp.
Pesan itu disertai kiriman foto-foto dan video saat panen padi di sawah yang diolah oleh bapak tengah dan bibik tengah. Sebutan bapak tengah dan bibik tengah ini adalah padanan kata sebutan untuk paman dan bibi, adiknya ibu saya, dalam bahasa Karo.
"Ini sedang dalam proses, panen padi di sawah Tapin Julun." Begitulah maksud pesan dari adik sepupu saya itu. Kawasan hamparan sawah pada foto dan video panen padi itu bernama Tapin Julun, yang berarti pemandian (tapin, bahasa Karo) yang berada di hulu (julu, bahasa Karo).
Ada rasa haru terbersit di hati ketika menerima pesan itu. Ini kali kedua saya menerima foto panen padi, yang merupakan pertanda bahwa seharusnya tidak lama lagi kami akan merayakan pesta panen atau pesta tahunan yang disebut "kerja tahun" dalam bahasa Karo.
Kali pertama adalah pada bulan Juli tahun 2020 yang lalu. Itu berarti sekitar 4 bulan setelah pengumuman resmi bahwa pandemi Covid-19 turut melanda Indonesia. Sejak itu hingga hari ini, pesta kerja tahun tidak pernah lagi sama di kampung halaman kami, di Tanah Karo.
Saya tidak lupa menuliskan kesan pribadi atas pelaksanaan pesta "kerja tahun" yang sepi itu melalui sebuah artikel yang juga terasa sangat sepi di Kompasiana. Artikel itu dipublikasikan pada tanggal 25 Juli 2020 dengan judul "Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kerja Tahun, Merayakan Pesta Panen dalam Doa dan Kesenyapan."
Kerja tahun sebagai sebuah tradisi untuk mensyukuri hasil panen tetap dilaksanakan pada tahun lalu. Namun, tidak mengundang sanak saudara yang tinggal di luar desa atau yang berada di perantauan.
Bisa dibilang, kerja tahun adalah momen mudik bagi warga Tanah Karo perantauan ke kampung halamannya untuk berkumpul merayakan hasil panen padi bersama keluarga.
Tampaknya tidak akan ada pesta kerja tahun kali ini juga. Absennya kerja tahun pada masa panen padi tahun ini, sekaligus juga merupakan pengingat bahwa pandemi ternyata telah menginjak usia 1 tahun 3 bulan lebih sedikit. Semoga ia tidak berumur panjang.
Adik sepupu saya mengabarkan bahwa kerja tahun memang akan tetap dilaksanakan tahun ini. Namun, tetap secara terbatas di rumah masing-masing warga desa saja, yakni pada tanggal 17 dan 18 Juli nanti. Hal itu dilakukan demi "merayakan hidup" dan melestarikan tradisi warisan dari nenek moyang agar tidak hilang, tapi tanpa perayaan.
Tidak pernah terbayangkan oleh kami kondisi seperti ini sebelumnya. Tidak ada perayaan pesta panen bukan karena gagal panen, tapi karena ada pandemi.
Bagi kami ini adalah sejenis penyakit tidak kasat mata. Namun, telah banyak merenggut nyawa keluarga, sanak saudara, sahabat, kerabat, teman, kenalan, dan handai taulan.
Ia melanda hampir seluruh pelosok negeri. Rasanya seperti kami menaruh rasa takut kepada sesuatu yang tidak kami ketahui apa yang harus kami takutkan.
Merayakan Panen untuk Mengalihkan Perhatian
Oke, kita tidak akan lebih berlama-lama lagi menambah rasa haru atas kondisi pandemi yang berkepanjangan ini. Bagaimana pun, hidup harus terus berjalan.
Saya mengalihkan pembicaraan. Alih-alih membahas pesta tahunan atau kerja tahun, kami larut dalam perbincangan tentang keseruan saat panen padi kemarin. Saya menjadikannya sebuah tulisan di Kompasiana.
Dari adik sepupu saya itu, saya mendapat informasi bahwa hasil panen tahun ini relatif sama dengan tahun yang lalu. Apa saja yang menarik di sana kalau begitu? Berikut ini liputannya.
1. Makan
Kenangan masa kecil saya membawa sebuah koleksi memori yang paling melekat terkait masa panen padi. Saat panen padi berarti makan enak.
Saya kira ini bukanlah soal menu masakannya. Menu makan siang yang paling saya ingat di sela kegiatan panen padi di sawah saat saya kecil dulu adalah sajian ikan sarden kalengan yang dibubuhi sambal tomat kental, terkadang ditambah dengan parutan kelapa.
Saya meminta adik sepupu saya itu mengirim foto sajian bekal makan siang yang dia santap saat panen kemarin. Ternyata sama dengan kenangan masa kecil saya itu. Menu makan siangnya kali ini pun adalah ikan sarden kalengan yang digulai dengan parutan kelapa, ditambah dengan masakan sayur terong antaboga.
Varietas padi yang biasa ditanam pada lahan sawah di kampung kami biasanya berusia setidaknya 6 bulan sejak ditanam hingga menguning dan siap dipanen. Selama masa penantian itu banyak sekali romantika dan dinamika yang harus dihadapi para petani.
Kita tidak akan mengulas soal itu kali ini, karena perlu sekali untuk membatasi tulisan tidak terlalu panjang demi menjaga imun tubuh di masa pandemi. Langsung saja ke proses panen. Hehehe.
Pertama, tangkai-tangkai padi yang sudah menguning dipotong dengan arit. Selanjutnya, tumpukan helai tangkai padi lengkap dengan bulirnya itu dikumpulkan di tengah sawah membentuk sejenis "benteng pertahanan" yang melingkar.
Warga kampung kami menyebut objek melingkar itu dengan sebutan "lukuten". Saya terkesima membayangkan makna simbolik lingkaran "benteng pertahanan" itu apakah ada hubungannya juga dengan pemaknaan padi sebagai salah satu unsur ketahanan pangan sejak zaman nenek moyang dulu?
Berikutnya, keesokan harinya bulir padi yang masih melekat di tangkainya diambil dari "lukuten" untuk selanjutnya dirontokkan. Proses perontokan itu kami sebut dengan istilah "ierik" (diinjak, bahasa Indonesia). Bulir padi dilepaskan dari tangkainya dengan cara diinjak-injak.
Ini bukanlah sebuah proses yang mudah, Kawan! Kulit kaki pasti sudah sangat spesial baru bisa tahan begini.
Untuk membantu keseimbangan badan sang pe-ngerik (penginjak, red) maka dibuat sebuah pegangan dari potongan bambu yang dipasang melintang panjang. Orang yang me-ngerik ini bisa saja banyak, apalagi pada lahan sawah yang luas. Pegangan ini kami sebut dengan istilah "sayamen."
Selain yang bertugas me-ngerik ada juga yang bertugas mengibas-ngibaskan (narsari, bahasa Karo) tangkai padi yang sudah diinjak-injak untuk memisahkan sepenuhnya bulir padi dari tangkainya. Bulir padi hasil perontokan ini kemudian dimasukkan ke dalam goni plastik untuk dibawa pulang ke rumah.
Setelah itu, keesokan harinya bulir padi dari dalam goni ini dipisahkan antara bulir yang kosong (lapung, bahasa Karo) dengan bulir yang padat dan penuh berisi. Kami menyebut proses ini "iangin" (diangini, bahasa Indonesia).
Dulu sebelum ada mesin blower, ibu-ibu dan bapak-bapak kami biasa memakai nyiru sebagai kipas untuk menghasilkan tiupan angin dalam proses pemisahan ini.
Baru setelah itu, bulir-bulir padi dengan kualitas terbaik dijemur langsung dengan beralaskan terpal plastik di bawah terik sinar matahari hingga bulirnya benar-benar keras (piher, bahasa Karo). Setelah itu, baru bisa dibawa ke kilang penggilingan padi untuk dijadikan beras.
Tahukah kamu, Kawanku? Dalam bahasa Karo ada istilah "beras piher", bila diterjemahkan langsung artinya beras yang keras. Dalam bahasa Toba yang saya ingat istilahnya "boras si pir ni tondi."
Makna kedua ungkapan itu sama. Itu adalah simbol dalam ritus budaya kami untuk memberkati manusia-manusia agar memiliki jiwa dan roh yang kuat.
Kita, aku, dan kamu, kini bisa melihat dan merasakan, bukan? Betapa kerasnya proses alam dan kerja keras manusia, mulai dari menanam, merawat, memanen, hingga bulir-bulir padi itu bisa menjadi beras, sebutir demi sebutir.
Mereka yang membantu proses alam itu, paman dan bibi saya termasuk di antaranya, adalah para petani polos yang hanya tahu bekerja keras. Meskipun begitu, mereka masih tetap saja bisa menemukan hal-hal untuk disyukuri dalam hidup, bahkan untuk dijadikan lelucon agar bisa melewati hidup yang sudah keras dari sananya, bahkan jauh sebelum pandemi melanda.
Kini soalnya bukan lagi tentang pesta kerja tahun yang juga bakalan tidak semeriah tahun-tahun sebelum pandemi itu. Masihkah engkau tega menyia-nyiakan bahkan sebutir saja beras yang lahir dari rahim ibu bumi yang keras itu, Kawanku?
Selamat memanen makna kehidupan. Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H