Varietas padi yang biasa ditanam pada lahan sawah di kampung kami biasanya berusia setidaknya 6 bulan sejak ditanam hingga menguning dan siap dipanen. Selama masa penantian itu banyak sekali romantika dan dinamika yang harus dihadapi para petani.
Kita tidak akan mengulas soal itu kali ini, karena perlu sekali untuk membatasi tulisan tidak terlalu panjang demi menjaga imun tubuh di masa pandemi. Langsung saja ke proses panen. Hehehe.
Pertama, tangkai-tangkai padi yang sudah menguning dipotong dengan arit. Selanjutnya, tumpukan helai tangkai padi lengkap dengan bulirnya itu dikumpulkan di tengah sawah membentuk sejenis "benteng pertahanan" yang melingkar.
Warga kampung kami menyebut objek melingkar itu dengan sebutan "lukuten". Saya terkesima membayangkan makna simbolik lingkaran "benteng pertahanan" itu apakah ada hubungannya juga dengan pemaknaan padi sebagai salah satu unsur ketahanan pangan sejak zaman nenek moyang dulu?
Berikutnya, keesokan harinya bulir padi yang masih melekat di tangkainya diambil dari "lukuten" untuk selanjutnya dirontokkan. Proses perontokan itu kami sebut dengan istilah "ierik" (diinjak, bahasa Indonesia). Bulir padi dilepaskan dari tangkainya dengan cara diinjak-injak.
Ini bukanlah sebuah proses yang mudah, Kawan! Kulit kaki pasti sudah sangat spesial baru bisa tahan begini.
Untuk membantu keseimbangan badan sang pe-ngerik (penginjak, red) maka dibuat sebuah pegangan dari potongan bambu yang dipasang melintang panjang. Orang yang me-ngerik ini bisa saja banyak, apalagi pada lahan sawah yang luas. Pegangan ini kami sebut dengan istilah "sayamen."