Pada umumnya ternak kelinci yang banyak dipelihara terdiri dari 2 breeds yaitu breeds fur (hias) dan fancy (kesenangan). Setiap kelompok breeds masih terbagi atas varietas-varietas berdasarkan warna rambut.Â
Hasil dari beternak kelinci ada yang untuk tujuan memperoleh daging, anakan/bibit, bulu/kulit, untuk hiasan/kesenangan, penelitian, dan untuk kotorannya untuk pertanian.
Melihat pakan ternak kelinci tersedia melimpah dari tanaman wortel yang banyak dibudidayakan warga, maka konsep integrated farming dalam hubungan wortel dan kelinci ini adalah pemanfaatan hasil sampingan dari dan untuk pertanian. Hasil sampingan wortel untuk pakan kelinci, kotoran kelinci untuk pupuk wortel dan tanaman lainnya.
Kotoran dan urin kelinci adalah bahan dengan kandungan yang cocok untuk pembuatan gas methane, media untuk pertumbuhan jamur, dan sebagai bahan pembuat kompos.Â
Urin kelinci dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bunga anggrek. Produksi kotoran padat kelinci dapat mencapai 35 kg sampai 156 Kg/ tahun untuk satu ekor kelinci, tergantung jenis dan ukurannya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang kelinci adalah perlunya memisahkan urin dengan kotorannya. Hal ini perlu untuk meminimalkan bau sebagaimana halnya dengan kandang-kandang ternak pada umumnya.
Dilansir dari Kompas.com yang mengangkat kisah ibu Vita, seorang dosen berstatus PNS yang mengajar di Universitas Mulawarman, dan kemudian berhenti menjadi dosen dan lebih memilih beternak kambing.Â
Dia menjelaskan bahwa pada prinsipnya yang membuat bau itu adalah urin ternah. Jadi perlu dikondisikan memisah urin dan kotoran padat dengan membuat instalasi tertentu pada kandang.
Konsepnya, di bawah kandang dipasang jaring untuk menangkap kotoran. Jaring tersebut dipasang miring agar kotoran bisa mengelinding ke tampungan yang disediakan.Â
Kemudian, di bawah jaring, dipasang fiber yang juga diposisikan miring untuk menampung urin. Urin kelinci kemudian dikumpulkan dalam tempat penampungan.