Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Permenungan Jalanan, Kisah Evolusi Tikus dan Kepunahan Dinosaurus

17 Juni 2021   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2021   23:43 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan lalu lintas di jalan Berastagi-Medan, 2018 (Dokpri)


Ini adalah permenungan atas sebuah pelajaran dari kemacetan lalu lintas. Kisahnya datang dari 3 tahun yang lalu, tepat pada saat puncak hari libur lebaran, dan belum ada pandemi Covid-19.

Info pantauan lalu lintas dari 45 menit yang lalu, bahwa kemacetan jalur Kabanjahe-Medan mengular sampai hotel Suite Pakkar. Itu adalah sebuah hotel dekat perbatasan Kabanjahe-Berastagi.

Ujung kemacetannya setidaknya sampai kawasan wisata Green Hill di Sibolangit, Deliserdang. Mengingat bahwa 90 menit sebelumnya, seorang sahabat yang berkendara dari arah Medan menuju Kabanjahe menginformasikan dari kawasan itu bahwa ada kemacetan juga dari arah Medan-Kabanjahe.

Jadi, kemacetan itu berada dalam rentang jarak sekitar 21 kilometer. Waktu tempuh normalnya adalah 44 menit. Namun, akibat kemacetan, jarak itu telah menghabiskan waktu sekitar 90 menit, lebih lama dua kali dari waktu normal.

Belum lagi kalau ada tanah longsor, atau bahkan sekadar truk terbalik. Saya pernah bermalam di jalan itu, sampai lalu lintas kembali normal keesokan harinya.

Sahabat yang terjebak macet itu mengungkapkan bahwa kemacetan itu adalah situasi yang kacau. Kemacetan menjadi kacau karena ada pengendara yang masih berusaha saling menyerobot, sekalipun sudah macet betul.

Paradoks pertama. Kemajuan zaman membuat laju di jalan semakin melambat. Jalur jalan Kabanjahe-Medan ini konon dibangun oleh Belanda pada tahun 1892. Dua tahun setelah Injil dibawa oleh misionaris Belanda ke Tanah Karo.

Ternyata jalan yang diniatkan untuk memperlancar perjalanan itu menjadi ironi yang tragis bahkan setelah 129 tahun kemudian.

Kalau dilihat dari sisi ekonomi, barangkali fenomena ini tidak terlepas dari fakta bahwa daya beli masyarakat kini menjadi semakin tinggi. Kendaraan pun semakin banyak di jalanan.

Bisa juga karena ada perubahan pola pengeluaran manusia masa kini dari sisi konsumsi. Ada realokasi porsi belanja yang lebih besar bagi kebutuhan wisata atau jalan-jalan.

Bisa dikatakan, anggaran pendapatan dan belanja manusia kini semakin memberi porsi bagi investasi psikologis. Banyak piknik biar tidak panik, kata sebagian mereka.

Kisah Evolusi Tikus dan Kepunahan Dinosaurus

Paradoks kedua. Memandang dari jauh indahnya kelap-kelip lampu kendaraan yang terjebak kemacetan mungkin sama ironisnya dengan anjuran untuk membiasakan diri menikmati penderitaan.

Kemacetan lalu lintas Berastagi-Medan, 2021 (Dokpri)
Kemacetan lalu lintas Berastagi-Medan, 2021 (Dokpri)
Dalam evolusi organik Charles Darwin, seleksi alam diyakini telah membuat hanya spesies yang paling kuat, yang paling adaptif, yang akan mampu bertahan di alam. Akibatnya, spesies yang terlahir selanjutnya diyakini mempunyai kualitas genetik yang semakin baik.

Spesies turunan akibat evolusi ini terlahir dari perkawinan induk yang sama-sama lulus seleksi alam. Barangkali, inilah penjelasan logis kenapa tikus-tikus di rumah kini tidak mempan lagi, atau setidaknya makin sukar, ditangkap memakai perangkap lem cap gajah.

Saya sudah melihat buktinya dengan mata kepala sendiri. Bukannya tikus yang terjebak di tengah perangkap yang terbuat dari lem itu, melainkan sepotong kain yang dijadikan jembatan menuju umpan dari kepala ikan asin yang berada di pusat perangkap yang lengket di sana.

Tikus-tikus masa kini lolos dari perangkap, karena mereka adalah keturunan dari tikus-tikus yang lebih dahulu selamat entah karena apa, dan setelah berapa kali percobaan. Tikus-tikus ini kawin-mawin dan melahirkan bayi-bayi tikus yang makin lihai menghindari perangkap.

Walaupun bentuk tikus-tikus yang terlihat hari ini tetap sama, tapi sebenarnya tikus yang tertangkap dulu atau yang hari ini lolos bukanlah tikus yang sama.

Kembali ke fenomena kemacetan lalu lintas pada 3 tahun yang lalu. Kalaulah seleksi alam menyisakan spesies sapiens yang terkuat dan paling adaptif yang bertahan hingga saat ini, sehingga sapiens yang terlihat sekarang sama sekali baru, maka ada paradoks dalam fenomena kemacetan ini.

Manusia atau sapiens yang berkendara di tengah kemacetan ini adalah manusia-manusia yang sama dan berada di jalan yang sama berulang kali. Mereka juga telah pernah terjebak macet sebelumnya, di jalan yang sama atau di jalan lain.

Investasi psikologis yang mahal ini membuat manusia tampak seolah merasa perlu untuk menambah waktu lebih lama berada di luar rumah. Entah untuk merenungi fenomena atau mencari hiburan sambil menambah beban derita. Merenung hingga kemacetan terurai, padahal ada rumah untuk ditinggali.

Jalan evolusi bagi yang meyakini, barangkali bahkan telah merevolusi kejiwaan sapiens. Sebagaimana sebuah ungkapan dari film Jurassic World (2018), menarik karena dirilis juga pada tiga tahun yang lalu.

Katanya: "Suatu saat mereka (dinosaurus) mungkin akan menjajah kita (manusia), karena mereka sudah lebih dulu mendiami planet ini dari kita".

Melihat kemunduran mental sapiens saat berada di jalan raya, terjebak kemacetan yang diperparah perilaku saling menyerobot misalnya, rasanya bukan tidak mungkin kita sedang bergerak menuju tangga evolusi yang lebih rendah dari dinosaurus. Apalagi raptor ternyata diyakini para peneliti memiliki tingkat intelegensia nomor dua setelah manusia. Kata film itu.

Bila demikian adanya, peradaban kita saat ini memang tidak ubahnya seperti pada zaman Jurassic. Para penyerobot di jalanan adalah gambaran Tyranosurus rex (T-rex) yang saling berebutan potongan daging mangsa.

Saling menyerobot dan mendahului di jalanan (Dokpri)
Saling menyerobot dan mendahului di jalanan (Dokpri)

Itu adalah gambaran sebagian sapiens saat saling berebutan celah sempit di jalanan untuk bisa saling mendahului, kemanapun tujuannya. Seperti berlomba-lomba menuju kemundurannya.

Adakah pandemi ini, yang menganjurkan kita untuk di rumah saja, bukannya di jalanan, memberi arah baru permenungan untuk itu? "Who knows," katanya.

. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun