"Kelaling-kelaling bagi bunga abang-abang."
Peribahasa dalam bahasa Karo di atas dimaksudkan bagi orang yang hidupnya tidak lagi menentu. "Kelaling-kelaling" bisa diartikan jalan ke sana kemari tanpa tujuan pasti, tidak karuan. Orang dengan gambaran seperti itu bisa berarti nyaris tidak ada lagi teman atau kerabat yang peduli.
Meskipun tidak persis sama, dalam kaitannya dengan bunga, kita bisa juga menghubungkan makna peribahasa itu dengan makna ungkapan "bunga di tepi jalan" seperti dalam lirik lagu ciptaan Tonny "Koes Plus" Koeswoyo itu.
Suatu kali kutemukan
Bunga di tepi jalan
Siapa yang menanamnya
Tak seorang pun mengira
Bunga di tepi jalan, mungkin tidak banyak yang melirik dan memujinya, juga jarang sekali ada yang serius meminangnya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih segar tentang makna ungkapan "bunga di tepi jalan" itu, mari kita simak tayangan lagunya dalam versi yang dinyanyikan oleh Sandhy Sondoro pada saat konser "A Masterpiece of Erwin Gutawa" pada 2011 yang lalu berikut ini.
Sekilas tentang Desa Raya
Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil bunga. Desa ini merupakan desa paling Selatan di wilayah Kecamatan Berastagi, yang berbatasan langsung dengan kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.
Menurut data pada "Kecamatan Berastagi dalam Angka", publikasi BPS Tahun 2018, luas Desa Raya adalah 5 km2, dan terletak di ketinggian 1.300 mdpl. Penggunaan lahan terluas adalah sebagai lahan tegal/ kebun non sawah. Pada sebagian besar lahan itulah warga desa banyak membudidayakan bunga.
Bunga krisan adalah salah satu jenis bunga yang paling banyak ditanam oleh warga desa Raya. Dari beberapa orang yang mengetahui latar belakang historis riwayat perkebunan bunga yang ditekuni oleh warga desa, disebutkan bahwa awal budidaya bunga-bunga yang ada di Tanah Karo diperkenalkan dan dikembangkan oleh orang-orang Belanda.
Namun, mulai berkembangnya usaha perkebunan bunga ini, khususnya oleh warga desa Raya adalah pada sekitar awal tahun 1990-an. Orang yang pertama kali menanam bunga krisan di Desa Raya ini bahkan mendatangkan bibit dari Bandung, yang merupakan sentral budi daya bunga krisan di Indonesia.
Pemasaran ini memungkinkan petani langsung menjual ke para pembeli. Selain itu, sepanjang jalan nasional yang menghubungkan kota Kabanjahe dan Medan di sekitar desa Raya ini juga banyak berdiri kios-kios warga yang setiap hari menjual bunga, tidak hanya pada saat hari pasar.
Lagi pula jalan nasional ini juga adalah salah satu jalan utama yang menghubungkan baik 4 kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Karo maupun Provinsi Aceh dengan kota Medan, ibu kota Sumatera Utara. Jadi lalu lintas kendaraan cukup ramai di sini.Â
Semoga saja para pengguna jalan tidak sekadar "kelaling-kelaling", jalan ke sana ke mari tak tentu arah sehingga bahkan tidak melirik bunga-bunga yang cantik di tepi jalan ini.
Apalagi sejak masa-masa awal pandemi covid-19 pada tahun 2020 yang lalu, di mana perayaan hari-hari besar keagamaan juga dibatasi. Hal ini berdampak terhadap turunnya permintaan akan bunga-bunga yang biasa tinggi pada masa-masa menjelang dan selama hari raya Paskah, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Semoga saja ini menjadi tonggak kebangkitan kembali harumnya bunga-bunga desa Raya yang berdampak bagi kesejahteraan warga desa, dan menginspirasi desa-desa lainnya di Tanah Karo.
Baca juga:Â Dari Keindahan Taman 1.000 Bunga Desa Raya, Tersemai Kesejahteraan dan Kemandirian Desa
Inilah 5 hal yang bisa digali dan dicermati dari riwayat dan realitas kehidupan para petani dan penjual bunga di tepi jalan desa Raya, yang dihubungkan dengan ungkapan populer tentang bunga.
1. Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya. (Soekarno, Presiden Pertama RI, 1901-1970)
Meskipun tidak terbatas kepada mawar, keindahan dari bunga-bunga yang digelar di sepanjang jalan pasar bunga desa Raya ini, pastilah turut mengukuhkan ciri khas Tanah Karo sebagai salah satu daerah penghasil bunga yang terbesar di Sumatera Utara.
Kesinambungan masa depan perkebunan bunga di desa ini sedikit banyak akan turut menentukan kukuhnya ciri khas itu. Begitulah satu desa dan yang lainnya menjadi sebuah mata rantai yang saling bertautan pada suatu daerah.
Tidak ada satu daerah yang lebih baik dari salah satu desanya yang paling lemah. Kebaikan dari satu desa menjadi kebanggan bagi satu daerah. Demikian juga sebaliknya, kelemahan dari satu desa menjadi keburukan bagi seluruh daerah sebagai satu kesatuan.
2. Cinta adalah satu-satunya bunga yang dapat tumbuh dan berbunga tanpa bantuan musim. (Khalil Gibran)
Tentu ini adalah sebuah kiasan. Bunga tidak akan bisa bersemi dan mekar bila bukan pada musimnya. Bila pun bisa, maka barangkali itu ada hubungannya dengan perubahan iklim dan pola cuaca akibat ulah manusia.
Apa lagi yang bisa membantu bunga menemukan waktunya untuk tumbuh dan berbunga bukan pada musimnya bila bukan karena cinta? Ya, bunga butuh perawatan yang telaten dari tangan-tangan dingin dan hati yang lemah lembut.
Sungguh, terkadang ketelatenan dan kehalusan itu tidak selalu berhubungan dengan hal-hal yang ragawi. Muka bisa cadas dan keras, Kawan! Tapi hati dan perasaan kami halus. Hehe. Kalau tidak begitu adanya, mana mungkin bunga mau tumbuh dan mekar bersemi?
3. Karena ada bunga mati, maka banyaklah buah yang tumbuh, demikianlah pula dalam hidup manusia bukan? Karena ada angan-angan muda mati, kadang-kadang timbullah angan-angan lain, yang lebih sempurna, yang boleh menjadikan buah. (Raden Adjeng Kartini)
Penuh dengan cinta saja tidak akan mungkin membuat usaha budi daya bunga ini bisa tetap bertahan. Hasil budi daya para petani bunga perlu dibeli. Kalau tidak, maka mimpi petani bunga pun mungkin akan berganti. Menjadi wortel, kopi, tomat, cabe, atau apa saja yang laku.
Ungkapan ini berhubungan dengan harapan para petani bunga. Menjadikan Taman 1.000 Bunga sebagai salah satu objek wisata yang dikelola dengan baik oleh BUMDes adalah salah satu jalan mengelola harapan itu.
Perlu untuk saling mendukung menjaga mimpi itu tetap tumbuh, berkembang, dan berbuah manis. Ya, pariwisata adalah jenis budi daya sumber daya yang tidak ada habisnya, bila dikelola dengan baik.
Â
4. Orang mati menerima lebih banyak bunga daripada orang hidup karena penyesalan lebih kuat daripada rasa syukur. (Anne Frank)
Nyatakan dengan bunga. Itu adalah sebuah ungkapan yang juga sudah sangat umum kita dengar. Namun, menjadi ironis saat kita lebih merayakan kedukaan kita dengan penuh warna, dari pada mencerahkan masa hidup kita yang singkat.
Sebenarnya tidak harus menunggu ada acara duka cita baru kita membeli banyak bunga dan menghantarkannya ke pusara. Mengapa tidak, bunga menjadi keseharian kita dalam mensyukuri waktu hidup yang singkat? Bukankan warna dalam bunga bisa membikin hidup lebih hidup? Perlu juga kita pikirkan sebelum menyesal.
5. Jika kami bunga, engkau adalah tembok, tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji. Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan. (Wiji Thukul)
Meskipun banyak tantangan dan hambatan, termasuk dalam budi daya bunga, tapi rasa seperti dalam larik puisi Wiji Thukul ini bisa menjadi pemantik semangat untuk kita tetap bisa mengelola harapan.
Hari ini kita bisa susah, tapi tetap semangat, siapa tahu besok hari akan lebih cerah. Harapan akan masa depan bukan tentang seperti apa kita kelihatannya hari ini, melainkan tentang meyakini menjadi apa kita nanti.
Kalau kita punya banyak "mengapa" untuk hidup, buat apa "bagaimana"?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H