Cuaca dingin yang menusuk tulang menyelusup dari celah di bawah daun pintu. Walaupun hari sudah pagi, tapi suasana di luar rumah masih gelap gulita. Waktu menunjukkan pukul 5.45 WIB.
Pagi ini kami harus bergegas turun dari ketinggian alam pegunungan Kacinambun menuju kota Kabanjahe. Batas waktu pencatatan jam masuk untuk kehadiran bekerja di kantor paling lambat pukul 8.00 WIB.
Usai mengemasi barang bawaan, kami pun bergerak pulang ke rumah pukul 6.30 WIB. Kami belum sempat sarapan pagi.
Perjalanan pulang menuju Kabanjahe pada pagi itu sangat lancar. Kami nyaris tidak menjumpai kendaraan lain yang bergerak baik menuju maupun meninggalkan Kacinambun Highland.
Hanya sesekali kami berpapasan dengan pemotor yang datang dari arah berlawanan. Mereka adalah pekerja sebuah peternakan ayam yang cukup besar di dekat desa Kacinambun.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk kami bisa sampai di kota Kabanjahe. Mumpung masih ada waktu sekitar 1 jam sebelum batas waktu presensi, maka kami memutuskan untuk membeli sarapan pagi di penjaja yang banyak berjualan dengan gerobak di sudut-sudut kota Kabanjahe.
Aneka sajian sarapan pagi ini terdiri atas lontong sayur, nasi gurih dan nasi biasa, dengan aneka lauk pauk. Ada telur goreng bulat, telur mata sapi, dan telur dadar. Ada aneka olahan ikan, yang digoreng sambal atau digulai. Ada juga kari, hingga berbagai olahan daging ayam. Untuk sayurnya ada rebusan daun ubi, tauco, gulai nangka , dan sebagainya.
Tentang rasanya juga lumayan enaklah. Barangkali fakta ini ditambah cuaca dingin pagi hari ikut berkontribusi menambah rata-rata ukuran badan yang pastinya juga berbanding lurus dengan berat badan sebagian besar warga kota kecil ini.
Setidaknya itulah realitas yang tampak secara kasat mata. Tidak dimungkiri bahwa di sudut-sudut tergelap pinggiran kota ini bisa jadi ada juga orang-orang yang sedang meringkuk berselimut dingin sambil menahan lapar.
Si ibu penjual sarapan pagi, meracik paduan nasi, lauk, dan sayur aneka jenis sesuai dengan pesanan. Cekatan mengemasnya dalam bungkusan kertas nasi, ia masih sempat juga meladeni beberapa pria pekerja pasar yang juga melongok ke gerobak tempat ia menyajikan dagangannya.
"Makan apa, Bang?" tanyanya, sambil mencolek sedikit sambal giling dari panci, menyendok sedikit kuah kari, dicampur dengan sayur tauco. Semua itu dibungkus bersama dengan nasi gurih yang aku pesan untuk dipadupadankan dengan ikan tongkol goreng.
Pagi itu, sebagaimana pagi hari-hari yang lalu, beberapa pria pekerja pasar ikut memesan sarapan pagi untuk dibungkus, sebagain lagi menyantapnya di lokasi. Demikianlah, sekilas kesibukan di sebuah gerobak penjual sarapan pagi di suatu sudut kota Kabanjahe.
Kesibukan biasa yang terjadi setiap hari, tapi juga sekaligus nyaris luput dari perhatian dan liputan. Tapi begitulah realitas pagi hari. Selain karena ketergesaan mengejar suatu hal sehingga tidak sempat sarapan pagi di rumah, ada banyak hal yang membuat bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, dan orang-orang dari berbagai kalangan dan usia memburu jajaan sarapan pagi.
Kilasan kenyataan itu terjadi hampir setiap hari, sepanjang minggu, bulan, dan tahun, di antara deru kendaraan dan lalu-lalang orang-orang di setiap sudut kota pada suatu pagi. Untuk setiap butiran nasi yang bisa dinikmati, patutlah setiap orang berdoa dalam hati "Terima kasih Tuhan. Berkatilah makanan kami. Ampunilah kami akan kesalahan kami."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H