"Nggak, Pak. Aku hanya terkesan dengan keindahan kabut yang melayang-layang di atas muka air embung itu," jawabku sambil mengaduk teh susu yang pekat dan kental di depanku.
Dua lelaki yang sudah lebih dahulu duduk di dalam kedai pun terpingkal. Karena bagi mereka embung itu barangkali sudah menjadi hal yang sangat biasa. Walaupun demikian, bersedia jugalah mereka menjelaskan sedikit perihal embung itu.
Sumber air embung itu selain air hujan adalah rembesan air rawa-rawa dari arah hulu. Dulunya di hulu embung ini adalah lahan persawahan warga.
Kini aku tidak lagi melihat ada lahan sawah di sekitar embung itu. Barangkali sudah dialihkan menjadi lahan kering untuk ditanami tanaman keras seperti jeruk, dan tanaman muda lainnya yang memang banyak diusahai oleh warga desa ini.
Kata salah seorang pria yang ramah itu, pada musim hujan terutama, kabut di atas permukaan embung itu bisa bertahan sampai jam 9 pagi.
"Oh, 'remang embun' itu yang Kam rasa menarik ya?" tanya pemilik warung.
Dalam KBBI, "remang" sebagai kata benda berarti bulu halus di tubuh, bulu roma. Selanjutnya, "meremang" berarti merasa seram; tegak (bulu badan). Sedangkan "remang-remang" sebagai kata sifat berarti agak gelap (kelam).
Sementara itu kata "remang" dalam bahasa Karo, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya kabut. Namun, begitulah idiom, "remang embun" dalam bahasa Karo adalah konstruksi frasa yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya, yang bisa diterjemahkan langsung menjadi "kabut embun". Itu adalah cara berbahasa yang mubazir.
Namun, masih berkaitan dengan makna remang dalam bahasa Indonesia, ungkapan "remang embun" dalam bahasa Karo ini bisa dimaknai sebagai embun halus yang indah sekaligus menyimpan kesan yang misterius.
Meskipun tidak terlalu luas, embung itu sendiri berisi ragam ikan, ada lele jumbo, ikan mas, dan ikan-ikan kecil lainnya. Ikan-ikan itu ada yang bibitnya ditabur oleh warga, dan ada yang memang sudah secara alami hidup dan berkembang biak di dalam aliran air rawa-rawa di atasnya.