Mereka membincangkan ragam isu sosial dan keseharian kehidupan di desa. Tentang anak, keluarga, dan tanaman di ladang.
Aku mengambil beberapa gambar. Siluet pepohonan dan tanaman semak yang tumbuh di tepi embung terpantul menghasilkan refleksi komposisi cahaya alami mentari terbit yang menarik.
Mereka yang ke sana saat masih pagi-pagi benar, taklain adalah untuk berburu pemandangan mentari pagi dari atas ketinggian Kacinambun Highland. Salah seorang pelancong yang liwat, kudengar berdecak kagum melihat embun tipis yang melayang di atas embung itu saat melintas di sana.
Sembari menuju kedai untuk meneguk teh susu hangat yang aku pesan, aku mengagumi pemandangan indah di atas permukaan embung itu. Bagiku pribadi, yang sering kali liwat tempat ini, embung ini adalah "pulo-pulo" Desa Kacinambun.
Dalam buku "Bahasa Karo" tulisan Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, "pulo" dalam bahasa Karo diterjemahkan menjadi "pulau" atau "hutan" dalam bahasa Indonesia. Namun, "pulo" bahasa Karo dalam bentuk kata ulang "pulo-pulo"Â memiliki makna kiasan.
"Pulo-pulo"Â adalah idiom yang dimaksudkan untuk menyebutkan latar sebagai penanda khas sebuah kampung. Menariknya, penanda khas atau katakanlah "land mark" kampung di desa-desa di Tanah Karo sejak zaman dahulu kala adalah berupa pepohonan yang besar dan unik, atau pepohonan yang tumbuh dalam suatu hamparan yang luas yang bisa juga dikatakan hutan.
Jadi, misalnya saat akan masuk ke sebuah kampung dan di pintu masuk kampung ada tumbuh pohon beringin yang sangat besar, maka dikatakan bahwa pulo-pulo kampung itu adalah "batang jabi-jabi" atau pohon beringin besar.Â
Atau ada tumbuh banyak pohon kelapa, maka "batang tualah simbelang", maksudnya hutan kelapa yang luas, itulah dikatakan sebagai pulo-pulo kampung itu.
"Kenapa Kam (kamu, bahasa Karo) memfoto embung itu. Apakah Kam mau memancing?" tanya pemilik warung sambil membawa "teh supen" yang aku pesan. "Teh supen" adalah singkatan dari teh susu gelas pendek.