28 tahun yang lalu...
Selesai memberi makan ternak di belakang rumah, aku bergegas mandi ke kamar mandi umum di pinggiran desa. Setelah itu aku menanak nasi dan menjerang air panas untuk air minum kami.
Itu adalah rutinitasku setiap sore sepulang dari ladang membantu kakek dan nenek. Setelah tugas rutin itu selesai, menunggu jam makan malam, aku menyempatkan diri membaca sebuah novel berjudul "Tara Anak Tengger."
Aku tinggal bersama adikku, kakek, dan nenek dari ibuku di desa Serdang. Ayah, ibu, dan adik bungsuku sudah lebih dahulu pindah ke kota Berastagi, karena ayah dipindahtugaskan melayani jemaat gereja di kota itu. Ibu juga ikut pindah mengajar di sebuah sekolah dasar (SD) negeri yang ada di kota itu.
Perihal novel ini, tak sengaja aku dapatkan bersama buku cerita lainnya saat membongkar-bongkar rak buku kecil yang dibuat oleh kakek di sebuah sudut rumahnya.Â
Rak buku ini dibuat cukup tinggi untuk jangkauan seukuran anak kelas 3 SD. Jadi aku harus berjingkrak di atas sebuah kursi saat membongkar-bongkar rak buku ini.
Kakek adalah seorang guru SD negeri di desa Penampen, tidak jauh dari desa Serdang. Di sela tugasnya sebagai guru, dia masih menyempatkan diri mengurus ladangnya bersama nenek.
Tanaman yang mereka tanam dan pelihara antara lain jeruk, tomat, cabe, dan kopi. Pekerjaan ini mereka tekuni bersama mayoritas penduduk desa yang bekerja sebagai petani.Â
Selain itu gaji guru pegawai negeri pada masa itu juga sangat kecil, tidak mencukupi kebutuhan kami sehari-hari dan uang kuliah paman kami di kota Yogyakarta. Itu adalah masa sekitar tahun 1993.
Dari sampul belakang buku yang masih bertahan tercatat diterbitkan pada tahun 1974.