Dari tiap baki, kepala suku mengambil sejumput, lalu diserakkannya di atas kepala kerbau itu. Lalu katanya, "Tahun baru mudah-mudahan dilindungi oleh Dewata. Dusun Mojosari akan kita jaga menurut naluri nenek moyang kita."
Lalu gamelan pun ditabuh, orang dewasa dan anak-anak kini diperkenankan meminum tuak. Orang-orang menari-nari, setengahnya lagi bernyanyi-nyanyi.
Selain itu, jika orang-orang sudah lapar mereka bisa menikmati berbakul-bakul nasi jagung dan bermacam-macam gulai daging kerbau yang disajikan bersama berpuluh-puluh bumbung tuak. Keramaian kesodo dirayakan sampai jauh malam.
Ketika fajar menyingsing, usungan sesajen berisi kepala kerbau itu dibawa menuju kawah gunung Bromo dalam suasana hening, merokok pun tidak boleh. Sesajen itu dipersembahkan ke dalam kawah Bromo kepada Sang Hyang Bromo.
Kata kekek Tara, pada masa nenek moyang mereka, kurban bagi Bromo adalah jiwa dan raga dari seorang remaja bernama Bungsu Kusuma. Dari pengurbanannya itulah lahir turunan orang Tengger sampai kini.
Sekilas tentang Tara Anak Tengger
Tara tinggal di dusun Mojosari. Kakeknya merupakan salah seorang tokoh yang disegani di dusunnnya. Sahabatnya di antaranya bernama Ganden, Bira, dan Kate.Â
Di sela perhatian mereka dalam persiapan pelaksanaan upacara kesodo di rumah kepala suku, sesaat sebelum mendaki lereng gunung Bromo, mereka sempat berencana mendapatkan tuak untuk diminum seteguk-dua untuk mengusir hawa yang dingin dari lereng gunung.
Kini mereka tidak lagi merasakan hawa dingin dari halimun gunung dan titik-titik embun yang menetes dari daun-daun kayu di lereng Bromo.
Ada 32 bab pada novel Tara Anak Tengger ini. Kisah petualangan Tara bersama teman-temannya dibalut dengan kisah kearifan lokal dan budaya suku Tengger yang sarat dengan pesan moral. Bagaimana orang tua seharusnya merasa ikut bertanggung jawab dalam mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada anak-anaknya, karena itulah yang membuat mereka dapat hidup berdampingan dengan Bromo dan alam lingkungan sekitarnya yang lestari.