Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aktualisasi Spiritualitas Kontekstual dalam Memaknai Uang

11 Mei 2021   13:37 Diperbarui: 15 Mei 2021   08:36 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh maitree rimthong dari Pexels

Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang. - Albert Camus

Konteks memicu berbagai penyesuaian. Begitupun dengan spiritualitas. Bagaimana melakukan penyesuaian prinsip dalam perspektif keimanan, keyakinan atau kepercayaan?

Prinsip adalah hasil permenungan dari liku perjalanan kehidupan yang cukup panjang, baik suka maupun duka. Prinsip menjadi panduan atau acuan bagi seseorang dalam mengarungi hidup.

Kehidupan berisi berbagai hal dan situasi yang tidak bisa dikendalikan. Apa yang tidak bisa dikendalikan sering kali hanya menyisakan sedikit sekali pilihan untuk kita bersikap. Kita melakukan penyesuaian.

Penyesuaian prinsip adalah jalan damai untuk bisa hidup dalam harmoni di antara segala perbedaan dan ketidakpastian. Oleh sebab itu, menyesuaikan diri juga mengandung makna perubahan. 

Pemahaman akan hal ini menjadi semakin kompleks, sebab landasan yang menjadi titik berangkat bagi penyesuaian sesuai konteks hidup itu adalah prinsip, iman, keyakinan, dan kepercayaan yang pantang digadaikan.

Tidak hanya bagi manusia, yang dipandang sebagai makhluk paling berakal di antara spesies lainnya. Bahkan hewan sendiri sering kita saksikan menjadi tumpas hanya karena tidak mau atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan konteks hidupnya yang berubah. 

Namun, tidak jelas benar apakah resistensi penyesuaian itu berkaitan dengan prinsip yang melekat dalam akal mereka yang sering kali diabaikan dari kajian.

Penyesuaian prinsip tumbuh beriringan dengan pemeliharaan harapan. Oleh sebab itu ia menjadi berhubungan dengan doa. Doa adalah sumber nafas kehidupan bagi manusia yang memiliki prinsip, iman, keyakinan dan kepercayaan.

Dari sana kita bisa mengudar makna ungkapan "Sabar dalam kesesakan, bersuka cita dalam pengharapan, dan bertekun dalam doa."

Untuk bisa bersabar dalam kesesakan orang harus memiliki rasa suka cita sebagai sumber daya tahan. Untuk mampu bersuka cita di saat mengampu beban hidup yang begitu menyesakkan, kita melakukan penyesuaian. Kita berdamai dengan kesesakan.

Orang melakukan penyesuaian bukan karena ia telah kehilangan pegangan dan acuan. Perubahan dalam penyesuaian bisa juga merupakan bentuk manajemen harapan.

Tidak jarang kita meyakinkan diri bahwa tidak apa memilih jalan panjang perjuangan hidup yang memutar dan dengan waktu tempuh yang lebih lama asalkan selamat berlabuh di pantai bahagia. Dari sana juga kita memahami makna prinsip "mengalah untuk menang."

Bagaimana menilai seseorang yang menyesuaikan diri dengan lingkungannya tidak sedang kehilangan prinsip, atau menggadaikan iman, keyakinan dan kepercayaan sebagai jangkar hidupnya? Tidak ada yang bisa menilainya dengan pasti.

Sebab pengharapan sebagai modal suka cita untuk menghadapi kesesakan hidup yang dipupuk dalam ketekunan berdoa, adalah perbuatan yang terjadi dalam roh, jiwa, dan semangat seseorang. Itu tidak terlihat, tapi bisa dirasakan.

Dengan demikian tidak bisa dengan mudah seseorang mengatakan bahwa orang yang berubah karena penyesuaian diri sesuai konteksnya sama dengan orang yang menggadaikan prinsip, iman atau kepercayaannya. 

Meyakini bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan, hidup tanpa penyesuain diri bahkan bisa dipandang sebagai kehidupan yang tercerabut dari konteksnya.

Uang adalah Ujian Karakter Sepanjang Zaman

Hidup tanpa prinsip sama dengan hidup tanpa pedoman, tanpa acuan. Maka dengan kata lain, hidup tanpa prinsip mungkin hanya sekadar menjalani waktu, ikut-ikutan hidup. Barangkali sama juga halnya dengan mati, atau mayat yang berjalan. 

Salah satu cara yang paling mudah untuk menilai karakter seseorang dalam kaitannya dengan aktualisasi spiritualitas kontekstual adalah melalui caranya dalam memaknai uang. 

Berkaitan dengan uang, kita bisa memakai nalar dan nurani untuk tidak lekas menilai dan menghakimi bahwa yang itu salah, atau sebaliknya memuji bahwa yang ini benar.

Sebab kenyataannya setiap orang bisa berubah menjadi seseorang yang berbeda manakala cara-cara dan upaya untuk mencapai kehendak, cita-cita, tujuan, dan harapan diperoleh dan dimenangkan dengan uang. 

Kalau ada satu dua orang yang memilih jalan berbeda, itu pun jumlahnya mungkin hanya beberapa atau hampir bisa diabaikan karena mungkin takada.

Namun, menjadi berbeda atau tidak banyak bukan berarti tidak ada. Penyesuaian diri sebagai aktualisasi spiritualitas kontekstual bisa saja dipandang oleh para pembenci sebagai bentuk sikap munafik atau orang tanpa prinsip. 

Sementara itu, bagi mereka yang menyukai kita, pelanggaran pun bisa tetap diterima sebagai kebenaran. Apa yang baik dari dua hal yang buruk itu?

Siapa yang tidak perlu uang? Yang sering menjadi permasalahan adalah soal bagaimana cara mencari dan mendapatkan uang. Masalah bahkan bisa menjadi semakin parah manakala kita tidak lagi mau ambil pusing soal bagaimana dan dari mana uang didapatkan.

Mengutip ungkapan Bung Karno, bahwa sesudah VOC mati sekitar tahun 1800, yang tidak ikut mati adalah sistem monopoli. Sistem itu menuntut untung yang bersendi pada paksaan.

"Datanglah selagi Dia berkenan ditemui. Berserulah selama Dia berkenan mendengar." Selagi dan selama bisa, tentu lebih baik mencari uang tanpa hidup dalam paksaan atau memaksakan diri demi uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun