Multikulturisme adalah salah satu gagasan bidang politik sebagaimana dalam buku "50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui" menurut Ben Dupre. Multikulturisme adalah bahasan mengenai gagasan wadah percampuran, diskursus mengenai perbedaan dari melting pot hingga salad bowl. Menurut Ben, multikulturisme merupakan salah satu isu yang paling mendesak di abad ini.
Multikulturisme dalam diskursus atas kedua hal itu, terwakili oleh moto Amerika Serikat "e pluribus unum", yang artinya dari banyak menjadi satu. Hingga semboyan bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Meskipun begitu, fakta menunjukkan bahwa seringkali praktik pemahaman atas keberagaman itu sendiri masih saja menemukan ujian-ujian di sana-sini, baik kecil maupun besar. Ya di Indonesia, bahkan di Amerika Serikat sendiri sebagaimana sedang hangat-hangatnya saat ini.
Melting pot berarti percampuran ras, di mana semua ras melebur dan dipersatukan. Namun, adat istiadat dan identitas unsur-unsur yang beragam itu diserap ke dalam eksistensi budaya baru yang dominan.
Sedangkan, pada salad bowl, aspek keseluruhan unsur-unsur yang beragam, terdiri atas bagian-bagian atau bahan-bahan yang tetap memelihara karakter atau selera asli mereka.
Gambaran ini, cocok sekali untuk menjelaskan berbagai sajian makanan di sebuah warung sederhana milik bapak Priska. Merek warung ini adalah Manggor Mampir.
Kata Bapak Priska "manggor" ini adalah bentuk pendek dari kata "manggoreng," lafal khas orang Batak saat menyebut kata "menggoreng."
Warung soto bapak Priska ini adalah sebuah gambaran bagaimana multikulturisme terwujud dalam hubungan-hubungan dalam keluarga, hingga tampilan dan cita rasa masakan yang tersaji dari warung Manggor Mampir miliknya.
Bapak Priska adalah seorang lelaki dari etnis Jawa. Istrinya seorang wanita Batak, dari marga Sihotang, tapi parasnya mirip orang Tionghoa. Anaknya ada dua, keduanya perempuan.
Walaupun disebut warung soto ayam, ia juga berjualan mi ayam, bubur ayam, nasi goreng, aneka jenis mi goreng, dan juga mi pansit kuah. Warung ini terletak persis di depan gerbang Sekolah Dasar Santo Xaverius 1 Kabanjahe.
Sudah beberapa kali saya sarapan pagi di sana, sambil menunggu anak saya yang duduk di kelas 1 pulang sekolah. Sudah sekitar dua pekan ini dilakukan pembelajaran secara tatap muka secara terbatas dan dengan penerapan protokol kesehatan di sekolah itu.
Menurut pengakuan Ibu Priska, semua bumbu masakannya diolah sendiri, tidak ada yang bumbu yang dibeli jadi. Mulai dari bawang goreng misalnya, digoreng sendiri.
Sebab katanya, bawang goreng yang dijual di pasar tidak jarang juga terbuat dari campuran irisan kubis yang dicampur dengan tepung dan digoreng dengan minyak bawang, sehingga tampak dan terasa mirip bawang goreng. Begitu juga perkedelnya, murni dari adonan kentang asli.
Cukup ramai juga yang makan di warungnya ini. Namun, menurut pengakuan ibu Priska untungnya hanya sedikit. Ya itu tadi penyebabnya, karena semua bumbu dan bahan-bahannya original dan dibuat sendiri, sehingga cukup repot, capai, dan butuh banyak waktu untuk mempersiapkannya setiap hari.
Untuk soto ayam saja, misalnya. Mulai dari menggoreng ayam, untuk nantinya dicincang, disuwir, menggoreng bawang, merebus tauge, menyiapkan mi, mengolah rempah dan bumbu untuk kuah, menggoreng kerupuk, dan sebagainya. Itu hanya bagian-bagian yang bisa aku bayangkan, entah persisnya bagaimana aku tak tahu.
Namun, sejak erupsi gunung Sinabung, di mana masyarakat desa-desa sekitar lingkar Sinabung yang menjadi pembelinya mulai banyak yang mengungsi, maka secara berangsur hasil penjualan tokonya pun menjadi menurun drastis. Di sekitar lokasi tugu Bambu Runcing Kabanjahe ini memang adalah terminal angkutan pedesaan desa-desa sekitar lingkar Sinabung.
"Sewa ruko 50 juta per bulan, sementara itu hasil keuntungan penjualan hanya Rp50.000 per hari. Habis untuk sewa ruko, nggak tahanlah," kata pak Priska mengenangkannya. Aku menyimak penuturannya sambil memperhatikan kesibukannya memasak pesanan pembeli.
Pak Priska sudah berjualan selama 20 tahun. Membuka warung soto ini sudah sekitar 3 tahun, tapi baru sejak 13 Desember 2020 yang lalu dia berjualan di lokasi saat ini, di seberang gerbang depan SD Santo Xaverius 1, Jl. Irian, Kabanjahe.
Dengan raut bangga pak Priska mengatakan bahwa kini dia sudah memiliki seorang cucu dari anaknya yang sulung. Pilihan untuk tetap berjualan meskipun saat ini tidak ada lagi anak yang menjadi tanggungan menurutnya selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan istrinya, juga untuk alasan kesehatan.
"Kita harus tetap berkerja untuk melanjutkan hidup, agar tidak membebani siapa pun," katanya. Dia bersama istrinya berjualan dan melayani pembeli dengan penuh keramahan dan suka cita.
Saya dan para pembeli di warungnya menikmati makanan dalam atmosfer penuh suka cita. Dia dan istrinya menyapa pembeli yang memesan dengan sapaan dan obrolan renyah, ramah, akrab, dan penuh kehangatan, sambil menyiapkan pesanan dengan cekatan.
Warungnya buka setiap hari, mulai pukul 6:30 wib sampai 18:30 wib. Luar biasa, itu saja sudah 12 jam kerja. Belum lagi ditambah waktu yang mereka butuhkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya sebelum buka setiap pagi.
Warungnya akan mulai ramai oleh pengunjung yang memesan sarapan pagi pada pukul 7 wib, lalu ramai lagi pada pukul 14 wib siang, dan pukul 16 wib sore hingga tutup pukul 18:30 wib.
Liku multikulturisme dalam untaian kisah pak Priska dan istrinya, yang aku nikmati dalam semangkuk soto itu aku bungkus dan bawa juga ke rumah, untuk dibagikan ke anak dan istri, juga dalam bentuk tulisan kepada para pembaca di sini.
Perbedaan dan tantangan kehidupan, meleleh dan melebur menjadi satu, terasa nikmat dalam semangkuk soto ayam, dan dalam kisah bapak dan ibu Priska. Yuk, manggor mampir!