Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaya Itu Miskin, Keduanya Bersaudara

19 April 2021   13:41 Diperbarui: 19 April 2021   14:27 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tampaknya akan selalu ada hubungan antara hati dan harta yang berharga. Dalam Alkitab (Lukas 12:34) dijelaskan bahwa "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Hati dan pikiran kita akan selalu tertaut pada apa yang kita rasakan sebagai sesuatu yang paling berharga dalam hidup.

Bagi orang yang haus dan rakus akan kekayaan materi sebagai harta yang dirasa paling berharga, mungkin tidak akan pernah puas sekalipun ia terlihat sudah sangat kaya. Tidak mengherankan mengapa korupsi, pungli, gratifikasi, suap, dan praktik illegal lain sehubungan dengan cara memperoleh kekayaan sukar dihapuskan.

Sebab Kaya Itu Miskin

Standar moral dan etika Yohanes Calvin, seorang teolog Kristen terkemuka dari Prancis pada masa Reformasi Protestan, mengajarkan bahwa etos kerja Kristen di antaranya adalah bekerja keras, hemat, dan melakukan reinvestasi. Hasil keuntungan yang diperoleh dari kerja keras dan hidup hemat tidak sekadar untuk ditabung dan mengendap begitu saja, tapi perlu diinvestasikan kembali.

Tentu dalam maksud anjuran Calvin itu, etos kerja tinggi tidak dimaksudkan untuk sekadar meningkatkan produktivitas, tapi juga bagaimana kekayaan yang dihasilakan bisa menjadi berkat. Ini adalah salah satu pernyataan nilai moral yang umum didengar, tapi terasa sangat abstrak, bahkan menuai kritik dan cibiran sebagai suatu bentuk hipokrasi massal di dunia yang dihuni oleh manusia-manusia pemburu kekayaan.

Secara teori mudah dijelaskan, bahwa peningkatan produktivitas akan menghasilkan sumber-sumber penghasilan baru, yang dengan itu akan meningkatkan penghasilan, membuka kesempatan kerja yang baru, dengan demikian berarti kesejahteraan bersama ikut meningkat. Tidak saja bagi para pemilik modal (kapitalis), tapi juga bagi para pekerja. Sebuah pemahaman yang tampak sangat mulia.

Pertumbuhan tampaknya menjadi sebuah kata kunci dalam hal ini. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan, maka semakin meningkat kesejahteraan bersama. Tapi benarkah demikian pada kenyataannya?

Etos kerja Calvin ini, bagi kaum sosialis mungkin akan dipandang sebagai sebuah prinsip yang membuat semakin tumbuh suburnya kapitalisme di berbagai belahan dunia, beriringan dengan "kabar baik" yang semakin gencar dikhotbahkan dari atas mimbar gereja. Padahal kenyataan yang tampak, seringkali menunjukkan bahwa kaya itu miskin.

Orang yang kelihatannya sudah sangat kaya dan berkuasa, masih saja merasakan kekurangan. Selalu ingin lebih, lagi, dan lebih lagi. Prinsip moral bahwa kesejahteraan kota adalah kesejahteraan bersama, tampak tidak signifikan berdampak mana kala penguasa dan pengusaha kaya ternyata mengambil jauh lebih banyak dari pada memberikan sesuai patutnya kepada warga dan pekerja.

Memang, di negara-negara yang dengan tegas menerapkan etos kerja Calvin ini, tercatat sebagai negara-negara yang kaya. Setiap tahun mereka termasuk dalam jajaran 10 besar negara dengan penduduk yang paling bahagia di dunia. 

Namun, di belahan bumi lain, di mana banyak hal diajarkan dengan malu-malu kucing, orang yang selalu berusaha untuk bisa menjadi lebih kaya, terkadang sudah buta dan tidak perduli walau bagaimanapun cara yang harus ditempuh untuk kengininan menjadi kaya itu bisa terwujud. Mengharapkan korupsi bisa dicegah, sama seperti menyandarkan harapan akan hadirnya orang-orang yang merasa bahwa tanggung jawab, komitmen, dan integritas sebagai harta yang paling berharga semakin banyak memenuhi bumi.

Pertanyaannya, mungkinkan waktu akan melahirkan lebih banyak manusia dengan kualifikasi moral dan etika seperti itu di bumi yang semakin menua? Manusia yang menganggap berharga harta yang terasa sangat abstrak, bahkan menuai kritik dan cibiran massal setiap saat ia disebutkan, baik terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, karena dipandang sebagai suatu bentuk hipokrasi berjemaah manusia-manusia pemburu kekayaan.

Di dunia pemburu pengumpul kekayaan ini, mencap diri sebagai orang yang bertanggung jawab, berkomitmen, dan berintegritas mungkin adalah salah satu cara paling gampang untuk menuai olok-olok atau bahkan caci maki. Maka dari itu, meskipun mungkin masih ada orang yang seperti itu, ia tidak akan mengatakan dirinya demikian.

Sebab agak meragukan juga untuk mengatakan bahwa tidak ada lagi satu pun yang memegang etos kerja, etika dan moral seperti itu. Apabila itu benar, sudah tiada ada satu pun, mungkin dunia sudah lama ambruk. Kenyataan bahwa kini belum, bukan karena tidak akan. Kita bahkan tidak bisa membayangkan bahwa itu sedang terjadi dengan cepat. Walaupun mungkin tidak banyak, tapi masih ada.

Tidak mengherankan, mengapa untuk sekadar membincangkan standar moral dan etika seperti itu di dunia pemburu kekayaan dan pemuja pertumbuhan ini, rasanya seakan membuat kita seperti malu-malu kucing. Dan belum ada tercatat hingga kini, bahwa kucing sudah tahu malu saat kepadanya disodorkan makanan kucing yang enak dan mahal.

Jangan Saling Menjelekkan Sebagai Saudara

Dan semuanya sama saja. Sosialisme mengolok-olok kapitalisme sebagai pemuja pertumbuhan yang tak tahu malu. Kapitalisme sendiri dipandang membagikan kesejahteraan segelintir orang kepada banyak orang, walaupun tidak pernah merata. Sementara itu, sosialisme sendiri dengan segala olok-oloknya kepada kapitalisme paling jauh hanya melahirkan kemiskinan yang merata.

Tidak persis hitam atau putih, kedua-dua nilai ini nyatanya kini ada di hati dan pikiran baik sosialis maupun kapitalis. Dalam diri manusia yang sangat rapuh ini, kebaikan dan keburukan bersaudara, erat sekali. Oleh sebab itu, tiada guna saling menyalahkan dan memandang diri lebih baik dari yang lain. Karena siapa pun kita, ternyata di mana harta berada, di situ juga hati berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun