Dalam pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) Kabupaten Karo untuk tahun rencana 2022, narasumber dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Utara memberikan paparan tentang perkembangan perekonomian Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2021, serta rekomendasi penguatan ekonomi Kabupaten Karo Tahun 2022.Â
Beliau menjelaskan bahwa pandemi menyebabkan tekanan  ekonomi kepada hampir seluruh negara di dunia. Salah satu kunci untuk mendukung terjadinya pemulihan (recovery) menurutnya adalah upaya percepatan pelaksanaan vaksinasi.
Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, 17/03/2021, bahwa menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, masyarakat yang sudah divaksinasi Covid-19 untuk tidak merasa aman akan terbebas virus Corona. "Kalau habis disuntik jangan merasa aman, terus ke mana-mana tidak pakai masker,"Â kata Menteri Kesehatan saat mendampingi Wapres Ma'ruf Amin dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 dosis kedua di kediaman dinas pada Rabu, 17/03/2021.
Apa yang patut menjadi sorotan penting dari pernyataan pak Menteri adalah bahwa berbagai adaptasi sebagai akibat dari pandemi dengan durasi yang berkepanjangan ini tampaknya mau tidak mau akan menjadi kebiasaan (habit) baru yang akan mewarnai hari-hari kita di berbagai bidang kehidupan.
Singkatnya, adaptasi kebiasaan baru akan menjadi budaya keseharian kita dalam menjalani berbagai aktivitas sambil menjaga kesehatan diri pribadi, maupun antar sesama manusia.
Tidak terlepas dari pengaruh ini adalah perlunya adaptasi kebiasaan baru di dunia pariwisata. Risiko penularan Covid-19 membuat masyarakat kini cenderung lebih menahan (membatasi) diri untuk melakukan perjalanan, termasuk untuk perjalanan wisata.Â
Di sisi lain, masyarakat cenderung menjaga tabungannya dengan menahan belanja kebutuhan tersier, dan memfokuskan belanja pada hal-hal yang dipandang terpenting.
Oleh sebab itu, kesuksesan vaksinasi dalam rangka percepatan penanggulangan dampak Covid-19 akan turut memberikan sentimen positif terhadap pemulihan berbagai sektor lainnya. Sejalan dengan itu, penerapan protokol kesehatan juga menjadi kata kunci yang tidak kalah penting.
Dari penjelasan itu, maka berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan untuk pariwisata bisa lahir baru di masa pandemi yang belum tentu pasti kapan akan tuntas ini, yakni:
1. Mengurangi Kesenjangan Informasi yang Asimetris
Ada sebuah hasil survei menarik terkait kepariwisataan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Bahwa masyarakat yang sudah sekian lama terbatas dalam melakukan perjalanan wisata merasa sangat perlu adanya jaminan dan informasi yang jelas terkait penerapan aturan protokol kesehatan (prokes) di suatu objek atau destinasi wisata.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pengelolaan dan penyampaian informasi terkait penerapan adaptasi kebiasaan baru akan sangat menentukan berhasil tidaknya pemulihan dampak pandemi, termasuk di dunia pariwisata.Â
Ini menjelaskan suatu hal yang bisa dikatakan sebagai bisnis sentimen, hubungan penjagaan kesehatan (penerapan prokes dan vaksinasi) dengan tingkat kepercayaan publik dalam segala bidang.
Penjagaan kesehatan kita perlu dibarengi dengan tindakan pengurangan terjadinya kesenjangan informasi yang asimetrik. Janganlah hidup yang sudah susah dibuat lebih susah dengan berbagai informasi yang menyesatkan.
Banyak sekali hal buruk yang menarik untuk dibuat menjadi viral demi cuan. Namun, berbagai hal baik juga perlu dan lebih berguna diberitakan untuk mengungkit tumbuhnya semangat di tengah dunia yang sedang dirundung kemurungan.
2. Belajar untuk Bisa Melakukan Lebih Banyak Hal dari Biasanya
Di sela kegiatan musyawarah itu, saya mencoba bertanya kepada salah seorang manajer hotel berbintang yang cukup terkenal di Tanah Karo yang hadir di acara. Apa sebenarnya yang mereka, para pengusaha hotel, alami sehubungan dengan pandemi, dan apa yang mereka lakukan untuk bisa bertahan di tengah krisis ini.
Menurut sang manajer, hotelnya mau tidak mau harus ikut beradaptasi. Sejak pembatasan sosial diberlakukan akibat pandemi pada 2020 yang lalu, berdampak pada tingkat okupansi (hunian) hotel yang dia kelola, mengalami penurunan hingga 60%.
Di hotel yang dia kelola ada 3 jenis karyawan yang dipekerjakan, meliputi karyawan yang sifatnya kasual (harian), karyawan kontrak, dan karyawan tetap (permanen). Akibat pendapatan hotel yang menurun, dan demi pengaturan dalam rangka pencegahan dampak kesehatan, maka pihak manajemen hotel membuat kebijakan merumahkan karyawan hingga 30%.
Prihatin dengan karyawan yang dirumahkan, tentu saja. Namun, pihak manajemen juga dipaksa untuk mengurangi keluhan saat harus melakukan berbagai hal yang dulu sebelum pandemi tidak mereka lakukan.
Karyawan yang masih aktif hingga level manajer dituntut untuk lebih memiliki keterampilan multitasking, harus bisa mengerjakan beberapa aktivitas atau pekerjaan sekaligus dalam waktu bersamaan. Tentu saja hal ini juga akan diperlukan oleh para pelaku wisata secara umum.
3. Pemerintah Perlu Membuat Kebijakan tentang Sertifikasi Penerapan Prokes di Destinasi Wisata
Lebih lanjut menurut sang manajer hotel, bahwa hingga triwulan I tahun 2021 ini, tren perbaikan kondisi tingkat hunian hotel belum menunjukkan indikasi membaik yang signifikan, meskipun sudah mulai terlihat bahwa lebih banyak orang yang mulai berwisata kini, setelah sekian lama terkurung akibat pandemi. Ini merupakan indikasi bahwa lama tinggal wisatawan mengalami penurunan.
Orang-orang memang jalan-jalan, tapi tidak banyak yang menginap. Hal ini juga menimpa hampir semua hotel yang ada. Hal ini tentu saja berkaitan dengan sikap para wisatawan yang masih waspada dengan isu pandemi, tentu saja hal ini baik adanya.
Namun, harus dicarikan solusi untuk mengurangi kekhawatiran wisatawan, sehingga roda ekonomi para pelaku wisata juga bisa terus berputar. Barangkali sentimen lebih positif akan tercipta mana kala wisatwan mendapatkan semacam jaminan bahwa destinasi wisata yang telah dibuka memastikan penerapan protokol kesehatan sesuai dengan aturan.
4. Meningkatkan Kolaborasi Pariwisata dan UMKM Melalui Berbagai Upaya Kreatif
Bila pada masa lalu paradigma perekonomian lebih tertuju kepada upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di mana dengan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi diharapkan akan memberikan efek menetes ke bawah (trickle down effect) yang akan menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang, terbukti telah gagal.
Sebab, dengan melihat realitas pukulan ekonomi akibat pandemi seperti saat ini misalnya, gambaran rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi pada suatu daerah dengan membagi rata angka Produk Domestik Regional Bruto perkapita sebagai barometer tingkat kemakmuran masyarakat suatu daerah, tentu tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk mengukur pemerataan pendapatan masyarakat.Â
Rumus itu tidak akan menangkap realitas kehidupan 30% karyawan hotel yang dirumahkan, atau pekerja serta karyawan bidang pekerjaan yang lainnya yang sudah lebih dahulu menjadi korban PHK.
Oleh sebab itu, indikator sehat tidaknya perekonomian kini lebih diarahkan kepada indikasi angka kemiskinan, tingkat ketimpangan, dan tingkat pengangguran.Â
Bila dulu cara instan untuk mendongkrak perekonomian dipandang melalui jalan industrialisasi, maka saatnya kini daya ungkit perekonomian diarahkan dengan meningkatkan semangat kolaborasi.
Sebab, ada satu hal yang menarik, bahwa di tengah kontraksi ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan minus itu, tampaknya sektor pertanian relatif lebih mampu bertahan, meskipun para petani selalu mengalami ironi sepanjang zaman. Mereka mampu bertahan, walaupun nyaris tanpa dukungan jaminan harga komoditi di pasaran.
Khususnya di Kabupaten Karo, di mana tulang punggung perekonomian masyarakat adalah dari sektor pertanian, dengan sumbangan lebih dari 50% terhadap PDRB. Sementara itu, sumbangan sektor pariwisata yang dipandang merupakan salah satu sektor unggulan hanya sekitar 2,63% terhadap PDRB. Ini berarti eksploitasi terhadap sumber daya alam masih tinggi, tanpa dukungan yang signifikan dari sektor industri kreatif.
Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana ekonomi kreatif yang bisa menghasilkan pendapatan dengan menjual ide (making money from idea) bisa lebih dikembangkan melalui kolaborasi.Â
Tercatat bahwa ada 15 industri kreatif yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, di mana 4 sekurangnya ada di Kabupaten Karo, meliputi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada sektor kuliner, pakaian, kerajinan tangan, dan video kreatif meskipun masih terbatas kepada usaha shooting video, bukan perfilman.
Perlu dipikirkan untuk membuat kebijakan agar keempat sektor UMKM ini bisa terhubung dengan sektor pariwisata dalam sebuah skema kolaborasi yang saling mendukung dan menguntungkan. Bagaimana misalnya usaha kuliner dengan produk khas hasil pertanian daerah ini bisa dijual sebagai oleh-oleh bagi wisatawan, apakah itu sirop markisa, jus jeruk, sirop terong, dan sebagainya.
Atau bunga-bunga yang cantik dengan harga yang kompetitif, dan berbagai jenis sayuran organik nan sehat sebagai buah tangan bagi wisatawan untuk dibawa pulang. Atau juga berbagai jenis kerajinan tangan dari anyaman bambu, rotan, ukiran kayu, atau juga kain tenun tradisional sebagai kenang-kenangan untuk dibawa pulang.
Semua hal ini mungkin sudah ada selama ini, tapi setidaknya dari data yang ada terlihat bahwa kontribusinya masih kalah jauh dibandingkan kontribusi sektor pertanian. Lagi pula, kreativitas dan inovasi kini dituntut untuk lebih berkembang, sebab jenis komoditi yang paling mampu bertahan di masa pandemi adalah yang juga sudah terhubung dengan ekosistem digital.
Kembali ke masa lalu sudah tidak mungkin lagi. Di saat masa depan sulit untuk diprediksi, maka setidaknya kita memiliki hari ini yang menuntut kita untuk beradaptasi lewat kolaborasi yang cerdas, bukannya bersaing dalam sikap saling memusuhi.
Rujukan: Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H