Terkadang terasa tidak masuk akal. Bandingkan dengan cara berpikir orang Barat yang sangat logis, selalu menggunakan logika dalam setiap hal.
Apakah pendapat ibu Saras Dewi ini mengkonfirmasi pendapat Prof. Tommy tentang perbedaan antara Apollo dan Dionisos sebagai medium untuk menjelaskan polemik soal perbedaan pandangan masyarakat kita yang terbelah, terkait perlu tidaknya pencabutan aturan menyangkut minuman beralkohol? Pembaca budiman yang berhak menilainya.
Hubungan Pengetahuan, Kekuasaan, Pasar dan Tuak
Menarik untuk mendalami pandangan Nietzsche terkait hal ini. Bahwa menurutnya, pengetahuan adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa. Ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekadar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu.
Kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hanya mungkin ada interpretasi dan tidak ada batas bagaimana dunia diinterpretasikan. Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekuensi dari kekuasaan. Lagi menurut Nietzsche, dimanapun, afirmasi kekuasaan selalu diiringi resistensi, meskipun dalam bentuk dan gradasi yang berbeda-beda.
Jadi, bila memakai dalil ini, setiap orang yang merasa memiliki kuasa untuk bersuara, atau yang merasa perlu bersuara karena kepentingannya terganggu, memang akan menunjukkan perlawanan atau penolakannya terhadap segala sesuatu yang tidak ia sukai, apa pun alasannya, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya. Sebab tidak mudah memahami sesuatu di luar diri kita, apalagi yang terasa tak masuk akal bagi kita.
Polemik atas suatu hal berdasarkan pengetahuan dan kehendak untuk berkuasa, akan berkelindan dengan sebuah praktik dalam ekonomi pasar. Pasar bisa saja membuat terjadinya proses dimana hal yang sebelumnya tidak diperjualbelikan akan menjadi komoditas, yang disebut komodifikasi.
Mungkin, tuak yang merupakan sebuah bentuk kearifan lokal, atau kejeniusan lokal (local genius), menurut suatu konsepsi sistem sosial masyarakat yang khas, tidak akan menuai polemik bila tidak disalahgunakan atau dipasarkan. Tidak saja oleh peminum yang minum sampai mabuk, tapi juga oleh pelaku pasar yang terlalu mengeksploitasinya, sehingga melakukan berbagai tindakan menyalahi etika, norma, yang bahkan melampaui kewarasan demi memenuhi hukum ekonomi pasar.
Padahal, tradisi meminum tuak, selayaknya dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap. Menurut batasan tertentu, tradisi itu dilaksanakan bagi kepentingan khusus para anggota komunitas tersebut.
Mengutip istilah komodifikasi dari tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Marxisme Seni Pembebasan," dipadukan dengan polemik soal minuman beralkohol yang masih hangat dan ramai hingga hari ini, saya berpikir barangkali kata itu memang lahir dari hubungan atau kombinasi dari "komoditi" dan "modifikasi." Singkatnya, komodifikasi adalah modifikasi komoditi.