"Konsepsi sistem sosial masyarakat yang khas, layak dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap. Menurut batasan tertentu, tradisi itu dilaksanakan bagi kepentingan khusus para anggota komunitas tersebut."
Historia.id melaksanakan sebuah diskusi yang bertajuk "Minum Kemarin Mabuk Sekarang: Alkohol dan Kejeniusan Lokal" yang ditayangkan secara live melalui akun media sosialnya. Diskusi ini masih dalam rangka menyikapi polemik terkait pencabutan lampiran tentang aturan investasi minuman keras dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Selasa (2/3/2021) yang lalu.
Diskusi ini menghadirkan dua orang nara sumber dari pengajar jurusan filsafat di Universitas Indonesia, yakni pak Tommy F. Awuy dan mbak Saras Dewi, dengan moderator Bonnie Triyana. Pak Tommy Awuy menyoroti bahwa polemik ini adalah bentuk kegagapan kita dalam menyusun regulasi dengan memasukkan suatu hal yang sesungguhnya terlalu sensitif untuk diatur bila titik singgung dari setiap pemahaman yang muncul kurang dipahami.
Sebab masyarakat sendiri masih gagap dalam memandang sesuatu yang tidak biasa di luar diri dan komunitasnya. Tidak persis seperti ini narasinya, tapi begitulah kira-kira aku memahaminya.
Berlawanan dengan Apollo adalah Dionisos, dewa yang melambangkan kegembiraan dan ketiadaan aturan. Meskipun begitu, orang Yunani menganggap mereka saling melengkapi. Kedua dewa itu adalah saudara, dan ketika Apollo pada musim dingin pergi ke Hiperborea, dia mempercayakan orakelnya pada Dionisos.
Dionisos tampak seperti dewa yang suka terlihat nyeleneh, dan elek-elekan. Dia juga dikenal dengan nama lain "Bakkhus," dewa anggur (arak) atau dewa pesta.
Secara spesifik, yang aku rasakan dari pernyataan Profesor Tommy terkait tuak sebagai salah satu minuman lokal yang mengandung alkohol, bahwa tuak adalah medium untuk menjembatani lahirnya "anarkisme kreativitas." Itu adalah sebuah frasa yang bagi saya akan langsung mengarah kepada sosok seorang kompasianer, tak lain adalah bapak Profesor Felix Tani.
Saya suka sewaktu dia mengatakan, "Destruktifnya orang mabuk sudah bisa diperkirakan, sebab dia tak lagi sadar. Paling jauh dia bisa berakhir di got. Lebih berbahaya adalah destruktifnya orang yang mabuk dalam kesadarannya. Sebab orang yang mabuk dalam kesadarannya akan merusak secara sengaja ."
Menarik pandangan "mabuk dalam kesadaran" sesuai konteksnya, maka semua hal bisa saja akan dituntut untuk dilarang oleh orang yang tak suka. Sebab tidak kurang banyak hal yang bisa disalahgunakan, tidak hanya minuman beralkohol.
Pembicara kedua, ibu Saras Dewi, yang juga adalah seorang dosen filsafat di UI, mencoba membedah soal minuman khas lokal, seperti tuak, yang digemari di berbagai daerah di Indonesia, dari kacamata filsafat. Dia mencoba membandingkan falsafah hidup dari peradaban Eropa (Barat) yang membagi berbagai hal dalam hidup secara dualisme tajam, antara yang rasional dan yang non-rasional, dengan falsafah hidup pada budaya Timur, yang tidak demikian halnya.