Komodifikasi yang gemuruh membuat hubungan sosial seakan lenyap dan tak jadi konkret lagi. Apa yang saling berhubungan hanya sebatas komoditas satu dan lainnya.
Saya memang belum ada mendengar investasi dalam skala besar di bidang pengolahan tuak. Namun, untuk kelas perdagangan skala kecil saja, tidak jarang kita mendengar, membaca, dan menyaksikan berita tentang pedagang minuman keras oplosan yang mencampurkan tuak dengan berbagai bahan berbahaya hanya untuk memberikan efek penghilang kesadaran yang kuat dan beraksi secara cepat, dan tentu saja dapat diproduksi dalam jumlah besar. Lagi-lagi, ini soal ekonomi, soal uang masuk.
Tidak hanya hilang kesadaran, mereka yang meminum tuak oplosan bahkan bisa sampai kehilangan nyawanya. Itu bukan salah tuak. Bagaimana pun, para pengusaha kurang waras atau yang mabuk dalam kesadarannya adalah pihak yang membuat nama baik tuak menjadi tercoreng.
Terkesan dilematis memang, atau bahkan dirasa tidak masuk akal. Pada dasarnya, saya pribadi setuju, bahwa banyak mudarat dalam minuman keras. Misalnya saja di sebuah daerah yang banyak peminum tuaknya, banyak sekali berita tentang peristiwa kriminal, penganiayaan, KDRT, bahkan berujung pembunuhan. Kejadiannya berawal dari mabuk minuman beralkohol.
Tetap saja, kata kuncinya adalah perilaku berlebihan, baik oleh peminum dan terutama pedagang tamak yang mabuk, yang berkontribusi besar dalam hal ini. Bagi sebagian petani nira, yang tahunya hanya menyediakan bahan baku untuk membuat tuak, akan kehilangan uang masuk dan mata pencahariannya bila tuak dipandang sebagai biang keladi kejahatan.
Lagi pula, kembali ke hukum pasar atau hukum ekonomi, nilai tambah ekonomi dan tingginya permintaan menjadi salah satu pendorong mengapa petani nira lebih memilih mengolah nira menjadi tuak ketimbang olahan lainnya. Jauh lebih mudah cara kerjanya dan lebih menguntungkan mengolah air nira menjadi tuak, dari pada mengolahnya menjadi gula aren, yang harganya jauh lebih murah dan membutuhkan proses lebih panjang.
Saya juga bisa salah menyimpulkan. Bahwa investasi jarang sekali mampu menunjang kearifan lokal, termasuk dalam usaha minuman keras, dibandingkan motif ekonomi yang terasa lebih mendominasinya.
Tidak hanya dalam soal minuman keras. Kita perlu mengendalikan diri untuk menikmati segala sesuatu yang kita rasa perlu apalagi yang kita rasa enak. Lebih jauh lagi, kita perlu belajar memahami nilai filosofis bahkan religiusitas di dalam segala sesuatu yang bisa kita nikmati.
Kembali mengutip Mas Goen, bahwa manusia memang akan menjadi tenggelam dalam peradaban masyarakat ekonomi dalam pasar, sebab ia tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Hal ini telah menjadi telaah panjang setelah Nietzsche dan Marx. Mereka malahirkan dua pandangan yang sejajar terkait materialisme historis dan zoroastrianisme, yang memandang setiap komoditas lain hanya sebagai bentuk penampilan dari nilainya sendiri.
Pokok ini bila ditinjau pada zaman kita ini, kita akan berbicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai dua penemuan manusia yang paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu, yaitu iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan.
Percayalah, apa saja, tidak hanya minuman keras, yang bila diiklankan tanpa putus akan mampu menggoda dan mengubah isi kepala. Sesuatu yang berubah dari keinginan menjadi keperluan.