Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Menatap Masa Depan Alat Musik Tradisional Karo dalam Alunan Musik Pilu

24 Februari 2021   00:08 Diperbarui: 25 Februari 2021   06:28 1886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gendang telu sendalanen, lima sada perarihen" saat ini lebih umum dikenal masyarakat Karo dengan sebutan "Gendang lima sendalanen." Penamaan ini berkaitan dengan jumlah dan jenis perangkat musik tradisional yang digunakan, dan hubungannya dengan falsafah hidup orang Karo "Merga si Lima, Rakut si Telu, Tutur si Waluh."

Gendang telu sendalanen bisa dikatakan gendang tiga serangkai. Berkaitan dengan sejarah awal alat musik tradisional ini dulunya, baik dalam upacara adat suka cita maupun duka cita, peran musik pengiring yang menggunakan perangkat tradisional ini sangat vital untuk kesuksesan acara.

Uniknya, gendang telu sendalanen, yang terdiri atas pemukul gung (gong), anak gendang, dan penarune (peniup serunai) pada zaman dulu ada di setiap kampung di Tanah Karo.

Jadi, bilamana ada upacara adat yang membutuhkan musik pengiring, maka pihak keluarga yang menyelenggarakan acara tinggal mengundang dua pemain musik lagi dari luar kampung, yang terdiri atas pemain gendang penganak dan indung gendang.

Kombinasi kelima unsur alat musik tradisional inilah yang dinamakan "Gendang telu sendalanen, lima sada perarihen." Bila diterjemahkan secara bebas artinya gendang tiga serangkai, lima jadi satu mufakat.

Ada hal-hal yang unik dan menarik dibalik alat-alat musik tradisional Karo ini. Mari kita lihat satu persatu.

1. Gung atau gong

Sudah umum diketahui pemakaian material logam dalam membuat gong sebagai kelengkapan alat musik tradisional pada berbagai suku di Indonesia.

Namun, sebagaimana dituturkan oleh bapak Deking Sinulaki, seorang pelaku seni musik dan tari tradisional suku Karo, ada perbedaan material dan cara pembuatan gong pada suku Karo dan suku lainnya, misalnya pemakaian gong pada suku Jawa.

Gong yang disebut gung pada suku Karo dibuat dari bahan kuningan. Cara membuatnya adalah dengan dicetak (maksudnya diketuk) oleh tukang besi, yang pada suku Karo disebut pande besi.

Sementara itu, gong pada suku Jawa terbuat dari bahan perunggu. Pembuatannya juga menurut pengakuannya adalah dengan cara dituang. Mungkin maksudnya, adalah dilelehkan terlebih dahulu dan dituang pada cetakan. Jadi lempengnya tidak diketuk lagi pada saat pembuatannya.

Memang bila diperhatikan, pada permukaan gung suku Karo, tampak bekas ketukan-ketukan palu yang membuatnya tidaklah tampak mulus sepenuhnya. Namun, cara pembuatan ini berpengaruh terhadap bunyi yang dihasilkan oleh gung pada suku Karo.

Gung Karo (Dokpri)
Gung Karo (Dokpri)
Gung kuningan yang dicetak pada suku Karo dikenal menghasilkan bunyi yang disebut "erbolo-bolo." Itu adalah semacam gema atau echo yang bertahan lama mana kala gung dipukul. Bila gong pada umumnya akan mengeluarkan bunyi "b-u-l-n-a-n-g," maka gung suku Karo akan mengelurkan bunyi bergema panjang "b-u-l-u-l-u-l-u-n-a-n-g."

Ada ungkapan bahasa Karo atas kenyataan ini yang menyatakan "Gung Jinabun ndekah erbolo-bolo." Maksudnya adalah bahwa gung dari desa Jinabun (salah satu desa di Tanah Karo) sangat panjang gemanya.

2. Anak Gendang

Sama dengan namanya, anak gendang sama bentuknya dengan gung, tapi ukurannya jauh lebih kecil. Bahannya juga dari kuningan, dan dibuat dengan cara yang sama. Namun, karena ukurannya yang jauh lebih kecil, maka anak gendang menghasilkan bunyi berdenting yang lebih tinggi dari gung.

Anak gendang Karo (Dokpri)
Anak gendang Karo (Dokpri)
Dalam penggunaannya, gung dan anak gendang bisa dikatakan menghasilkan ketukan yang berfungsi sebagai metronome, yakni berperan untuk menjaga konsistensi tempo. Sekali anak gendang dipukul sendiri, lalu pada ketukan berikutnya anak gendang dipukul bersamaan dengan gung. Begitu seterusnya, dengan kecepatan tergantung tempo lagu yang dimainkan, tapi jarak pukulan (ketukan) tetap sama.

Gung dan anak gendang Karo (Dokpri)
Gung dan anak gendang Karo (Dokpri)
3. Sarune

Pak Deking Sinulaki sudah menekuni seni musik tradisional Karo sejak berumur 18 tahun. Keahliannya terutama meniup sarune (serunai). Oleh sebab itu ia dikenal sebagai penarune (peniup serunai).

Ia mewarisi keahlian meniup serunai dari kakeknya, yang menurun juga ke ayahnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa ia adalah generasi ketiga penarune dalam silsilah keluarganya. Untuk menunjukkan bahwa kesenian ini sudah sangat tua, dia menunjukkan kepada saya sebuah sarune peninggalan buyutnya, diukir dengan ornamen khas Karo yang dia sendiri tidak mampu menjelaskan apa maknanya, dan tertulis tahun 1899.

Sarune (Dokpri)
Sarune (Dokpri)
Sarune (Dokpri)
Sarune (Dokpri)
Sarune (Dokpri)
Sarune (Dokpri)
Memainkan alat musik yang terbuat dari kayu ini jelas saja membutuhkan kemampuan olah nafas yang panjang.

Sebab sumber bunyinya adalah semacam selaput tipis yang ditiup, dengan lubang-lubang pada permukaan sarune yang berfungsi untuk mengatur nada.

Oleh sebab itu, bisa dikatakan sarune adalah instrumen yang berperan dalam membentuk melodi atau warna nada pada sebuah lagu yang dimainkan dengan alat musik tradisional Karo.

4. Indung Gendang 

Ini adalah jenis alat musik pukul dengan sumber bunyi berupa membran yang bergetar ketika dipukul, dengan pemukul (stick) yang dibuat dengan bentuk khusus dan berbagai ukuran sesuai penggunaannya. Sama dengan namanya, indung gendang berarti gendang yang berfungsi sebagai induk atau gendang yang diikuti.

Bahan indung gendang terbuat dari kayu yang pada bagian tengahnya dibuat berongga. Pada bagian ujungnya diberi membran yang terbuat dari kulit napuh (sejenis kancil).

Indung gendang (Dokpri)
Indung gendang (Dokpri)
Menurut pak Deking, hewan tersebut bisa didapatkan pada hutan-hutan yang ada di wilayah sekitar Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Hewan itu masih ada sampai kini. Bagaimana pun, membran sumber bunyi itu pasti harus diganti, sebab akan sobek bila sudah habis daya tahan masa pakainya.

5. Gendang Penganak

Secara bentuk dan bahan, gendak penganak hampir sama dengan indung gendang. Satu hal yang membedakannya adalah, pada gendang penganak ada ditautkan tambahan gendang yang lebih kecil, yang disebut segarantung.

Gendang Penganak (Dokpri)
Gendang Penganak (Dokpri)
Bila diperhatikan pada saat dimainkan, baik indung gendang maupun gendang penganak ini, selain berperan dalam menjaga tempo lagu, ia juga berfungsi membentuk fill in. Variasi pukulan pada indung gendang dan gendang penganak, menghasilkan suatu pola penanda perubahan dalam bagian-bagian suatu lagu. Misalnya, dari intro ke verse, atau dari bridge ke reffrain lagu.

Fenomena Sosial yang Mencemaskan

Bila pada zaman dahulu di setiap desa di Tanah Karo bisa dijumpai orang yang mahir memainkan gendang telu sendalanen, maka kenyataan sebaliknya yang cukup mengkhawatirkan dijumpai pada masa kini. Hampir sudah tidak ada sanggar atau grup seni tradisional dengan personil lengkap yang mampu memainkan alat musik khas Karo ini yang berdomisili pada satu desa yang sama.

Umumnya mereka berasal dan tinggal berpencar di berbagai desa di Tanah Karo. Mereka saling menghubungi bila ada pihak yang mengundang dan membutuhkan iringan alat musik tradisional pada suatu upacara adat.

Ada fakta lainnya yang tidak kurang mencemaskan terkait eksistensi alat musik tradisional Karo ini. Mereka yang memainkan gendang telu sendalanen, lima sada perarihen yang umum disebut penggual ini, hampir sudah tidak pernah diundang pada pelaksanaan upacara adat pesta pernikahan (suka cita).

Bahkan menurut pak Deking, sejak tahun 2015, yang menggunakan pemakaian alat musik tradisional ini pada upacara adat kematian (duka cita) pun hanya tersisa sekitar 5% saja.

Fakta mencemaskan ini jelas merupakan gambaran kurangnya rasa memiliki dari masyarakat Karo sendiri terhadap gendang Karo, yang sebenarnya adalah salah satu warisan kekayaan budayanya.

Berawal dari fenomena yang semakin menjadi-jadi, terutama sejak sekitar tahun 2000-an, ketika teknologi tampaknya semakin mengambil alih peran segala sesuatu yang tradisional, termasuk dalam hal musik.

Untuk mengiringi upacara-upacara adat, masyarakat Karo umumnya tidak lagi memakai gendang tradisional Karo, melainkan "gendang Jepang." Itu adalah semacam ungkapan peyoratif dari masyarakat Karo sendiri untuk menyebuat alat musik elektronik seperti keyboard made in Japan, yang telah diprogram dengan berbagai variasi style musik, termasuk musik instrumen tradisional Karo. Musik dalam semua acara adat dan sebagainya nyaris digantikan oleh organ tunggal yang disebut kibod itu.

Manurut pak Deking, sampai sejauh ini tidak ada program khusus, entah dari mana saja, sebagai upaya untuk melestarikan alat musik tradisional ini. Selain dari orang-orang yang masih memiliki rasa ketertarikan, tapi sifatnya pribadi, untuk mempelajarinya secara mandiri.

Ia mencemaskan (kecemasan yang sebenarnya sudah berlangsung lama), "Entah sampai berapa tahun lagi keahlian dan kearifan lokal dalam musik tradisional yang merupakan salah satu kekayaan budaya Karo yang luhur itu akan mampu bertahan?" Barangkali begini jugalah gambaran suatu spesies kritis yang berada di ambang kepunahan.

Kecemasannya itu seakan mengoyak perasaan saya, tatkala air mata berderai dalam alunan sarune yang mendayu-dayu lirih. Mengiringi tarian dalam upacara adat kematian salah seorang kerabat kami pada hari itu. Alunan musiknya yang memilukan dan menyayat hati, seolah mewakili kecemasan akan masa depan dan kelangsungan hidup musik tradisional Karo ini.

Harapannya, harapan saya, dan juga barangkali harapan siapa saja yang peduli, agar dilakukan suatu upaya, entah lewat seminar atau pertemuan, atau apa saja, yang bisa mempertemukan para pemangku kepentingan, tokoh adat, tokoh agama, atau siapa saja, untuk menjawab suatu tanda tanya "Mau dibawa ke mana masa depan alat musik tradisional Karo yang mengalunkan musik kehidupan dengan pilu itu?"

Untuk bisa ikut menangkap rasa di dalamnya, berikut ini saya sertakan sebuah utas ke cuplikan alunan musik tradisional Karo, "Gendang 3 Sendalanen, 5 Seperarihen" pengiring upacara adat kematian pada suku Karo (23/02/2021). Dibawakan oleh Dekeng Sinulaki, dkk.

Salam budaya. Mejuah-juah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun