Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Potret Senyuman pada Sebuah Nyiru dari Pangururan

16 Februari 2021   22:00 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:01 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oppung Ferry dan Nyiru dari Pangururan (Dokpri)

Setelah membeli sekarung beras pada suatu siang yang terik di sebuah kilang penggilingan padi pada Selasa (9/2/2021) lalu, istri saya minta diantarkan untuk membeli beberapa buah pot plastik di pasar Kabanjahe, Tanah Karo. Saya memarkir kendaraan, dan menunggunya berbelanja di depan emperan sebuah ruko kosong.

Tidak jauh dari tempat parkir itu, ada sebuah pemandangan yang menarik perhatian saya. Dua orang nenek lanjut usia dan seorang anak muda, yang kemungkinan adalah cucu dari salah satu nenek itu, sedang menghitung lembar-lembar nyiru.

Nyiru atau ndiru dalam bahasa Karo itu, terbuat dari anyaman bambu. Tulang tepinya terbuat dari batang rotan yang dililit dengan anyaman. Meskipun di kampung ibu, tempat saya dibesarkan, banyak sekali kerajinan anyaman bambu, saya tidak pernah sekalipun melihat ada orang yang menganyam nyiru.

Anyaman bambu yang banyak dikerjakan di kampung ibuku antara lain keranjang untuk tomat dan jeruk, kandang ayam yang disebut sunun, dan tempat ayam bertelur yang disebut sagak. Demi memuaskan rasa penasaranku, aku pun mendekat ke tiga orang yang rupanya sedang melakukan transaksi itu.

Sunun dan sagak, kerajinan anyaman bambu. Koleksi Museum GBKP, RC. Sukamakmur (Dokpri)
Sunun dan sagak, kerajinan anyaman bambu. Koleksi Museum GBKP, RC. Sukamakmur (Dokpri)

"Mau apa kam, Pa?" tanya salah satu nenek itu.

Sudah biasa, kalau di kalangan suku Batak umumnya, termasuk juga pada orang Karo, laki-laki dipanggil "bapa" oleh orang yang lebih tua, apakah laki-laki atau perempuan. Selain untuk menunjukkan keakraban dan sapaan sopan, dari yang aku ketahui, dalam hubungan keluarga sebutan itu bisa juga berarti menunjukkan rasa kasih, rasa sayang orang tua kepada laki-laki yang lebih muda.

Dari dialeknya, aku menyadari kalau nenek ini bukan orang Karo. "Nggak apa-apa, Pung. Aku cuma mau ambil foto," jawabku kepada nenek yang kemudian aku panggil oppung itu.

Ternyata benar, setelah kami bercakap-cakap sebentar, nenek yang dipanggil dengan sebutan oppung Fery ini adalah boru Purba. Dia dari suku Simalungun.

Dari oppung Fery aku mendapatkan informasi bahwa nyiru-nyiru itu berasal dari Pangururan, sebuah kecamatan di Kabupaten Samosir. Letaknya di tengah dan dikelilingi Danau Toba.

Bagus, pikirku. Hari ini aku mendapatkan pengalaman menarik. Oleh karena kebutuhan akan bahan makanan dan berbagai barang perkakas sehari-hari, aku telah bertemu dengan beras dari Tapanuli Utara, nenek penjual nyiru dari Simalungun, dan nyirunya yang berasal dari Pangururan, dalam satu hari di satu kota kecil bernama Kabanjahe.

"Kenapa nggak dibuat di sini saja nyirunya, Pung?" tanyaku.

"Nggak ada yang bisa menganyam nyiru di sini, Bapa!" jawab oppung Fery lantang. Aku memegang-megang salah satu nyiru yang dia bilang paling bagus.

"Ini, kalau bentuknya petak seperti ini, nyiru kita orang Batak" katanya lagi.

"Oh, begitu ya, Pung?" kataku lagi masih sambil mengelus-elus permukaan rotan yang dibungkus menjadi tulang nyiru itu.

"Kalau bentuknya bulat, itu biasanya nyiru orang Jawa," lanjut oppung Fery.

Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
Memang belum pernah aku melihat nyiru berbentuk petak seperti yang dari Pangururan ini selama merantau di Jawa, walaupun barang sebentar. Sering juga aku melihat nyiru yang bulat-bulat itu dibuat menjadi hiasan gapura gang-gang perumahan pada bulan Agustus, dan dicat merah putih.

Kalau saja aku pernah melihat ada nyiru yang petak di rumah salah seorang penduduk selama perantauanku yang singkat di pulau Jawa, kurasa pastilah aku langsung bertandang ke sana. Kemungkinan besar dia dari Sumatera Utara, lamunku.

Bila merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, nyiru berarti alat rumah tangga, berbentuk bundar, dibuat dari bambu yang dianyam, gunanya untuk menampi beras dan sebagainya. Sepertinya, bila ditinjau dari segi variasi bentuknya, pengertian nyiru dalam kamus rujukan ini masih perlu disempurnakan. Sebab ada nyiru yang tidak bundar.

"Mau kam ambil, Bapa?" tanya oppung Fery.

"Ah, aku masih punya satu di rumah, Pung. Aku mau ambil foto-foto saja tadi," jawabku singkat.  

"Kupikir mau kam ambil, entah satu saja pun. Belum buka dasar aku," katanya lirih.

Aku merasa tidak enak juga, karena jam pada waktu itu sudah menunjukkan pukul 11 siang, dan ternyata satu pun nyiru itu belum ada yang laku. Maka aku putuskan membeli satu.

Dari oppung Fery aku diberi tahu, bahwa nyiru yang petak itu ada dua jenis. Jenis yang pertama seharga Rp45.000, tulang rotannya tidak dibungkus anyaman. Sementara yang kedua, yang aku elus-elus, seharga Rp60.000, tulang rotannya dibungkus anyaman dan lebih nyaman ketika dipegang.

Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
"Apa margandu, Bapa?" tanya oppung yang sangat ramah ini.

"Aku marga Tarigan, Pung," jawabku. Hampir aku mau dipeluknya. Senang sekali dia.

Katanya, "Itulah kan, kurasa sudah ditunjukkan Tuhan biar kam datang ke sini. Tahu Dia belum laku-laku jualanku dari tadi pagi. 'Belilah nyiru turangndu itu,' kata Tuhan, kurasa ya?" Aduh, oppung ini, pintar sekali merayu pembeli pikirku.

Namun, memang begitulah orang Batak pada umumnya. Bukan nepotisme dalam artian yang negatif, aku kira.

Perasaan dapat terhubung manakala simbol-simbol identitas yang mengikat dan mempersatukan terungkap ke permukaan, pada suku apa pun. Perasaan itu segera memancing reaksi dengan nuansa kehangatan yang tidak terduga.

Jadi, bukan tanpa maksud semua simbol-simbol identitas itu dibuat oleh nenek moyang kita. Marga Tarigan pada suku Karo, dan Marga Purba dalam suku Simalungun dipandang sama. Jadi, seorang laki-laki Marga Tarigan bisa memanggil "turang" (bahasa Karo) atau "boto" (bahasa Simalungun) kepada perempuan Boru Purba dalam tingkat tutur yang setara, atau memanggil "bibi" bila tingkatannya lebih tua (setara orang tua).

Mungkin karena ia memang merasa bertemu dengan turang atau boto-nya, oppung ini malah hanya membanderol nyiru kualitas terbaik dari jenis yang kedua itu, hanya seharga Rp50.000. Tidak mahal dan juga bukan harga yang paling murah.

Lebih dari persoalan ekonomi, buatku pribadi, apa yang sudah ditunjukkan oleh oppung Fery ini merupakan salah satu bukti bahwa nilai-nilai positif adat budaya kesukuan, bisa muncul bahkan dari sebuah proses transaksi di suatu pasar tradisional pada suatu hari. Kalau berbelanja lewat aplikasi, pastilah sudah aku berikan bintang lima kepada nenek penjual nyiru ini.

Entahlah, apakah emosi yang seperti itu bisa terwakili oleh emoticon dan bintang-bintang pada suatu pasar digital. Sekalipun memang segala sesuatu tampak dan terasa menjadi lebih mudah di dunia yang seperti itu.

"Sehat-sehat Kam ya, Pung," kataku sambil mengambil foto dirinya. Cekrek..., dia tersenyum lebar.

Oppung Ferry dan Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
Oppung Ferry dan Nyiru dari Pangururan (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun