Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Potret Senyuman pada Sebuah Nyiru dari Pangururan

16 Februari 2021   22:00 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:01 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oppung Ferry dan Nyiru dari Pangururan (Dokpri)

Aku merasa tidak enak juga, karena jam pada waktu itu sudah menunjukkan pukul 11 siang, dan ternyata satu pun nyiru itu belum ada yang laku. Maka aku putuskan membeli satu.

Dari oppung Fery aku diberi tahu, bahwa nyiru yang petak itu ada dua jenis. Jenis yang pertama seharga Rp45.000, tulang rotannya tidak dibungkus anyaman. Sementara yang kedua, yang aku elus-elus, seharga Rp60.000, tulang rotannya dibungkus anyaman dan lebih nyaman ketika dipegang.

Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
Nyiru dari Pangururan (Dokpri)
"Apa margandu, Bapa?" tanya oppung yang sangat ramah ini.

"Aku marga Tarigan, Pung," jawabku. Hampir aku mau dipeluknya. Senang sekali dia.

Katanya, "Itulah kan, kurasa sudah ditunjukkan Tuhan biar kam datang ke sini. Tahu Dia belum laku-laku jualanku dari tadi pagi. 'Belilah nyiru turangndu itu,' kata Tuhan, kurasa ya?" Aduh, oppung ini, pintar sekali merayu pembeli pikirku.

Namun, memang begitulah orang Batak pada umumnya. Bukan nepotisme dalam artian yang negatif, aku kira.

Perasaan dapat terhubung manakala simbol-simbol identitas yang mengikat dan mempersatukan terungkap ke permukaan, pada suku apa pun. Perasaan itu segera memancing reaksi dengan nuansa kehangatan yang tidak terduga.

Jadi, bukan tanpa maksud semua simbol-simbol identitas itu dibuat oleh nenek moyang kita. Marga Tarigan pada suku Karo, dan Marga Purba dalam suku Simalungun dipandang sama. Jadi, seorang laki-laki Marga Tarigan bisa memanggil "turang" (bahasa Karo) atau "boto" (bahasa Simalungun) kepada perempuan Boru Purba dalam tingkat tutur yang setara, atau memanggil "bibi" bila tingkatannya lebih tua (setara orang tua).

Mungkin karena ia memang merasa bertemu dengan turang atau boto-nya, oppung ini malah hanya membanderol nyiru kualitas terbaik dari jenis yang kedua itu, hanya seharga Rp50.000. Tidak mahal dan juga bukan harga yang paling murah.

Lebih dari persoalan ekonomi, buatku pribadi, apa yang sudah ditunjukkan oleh oppung Fery ini merupakan salah satu bukti bahwa nilai-nilai positif adat budaya kesukuan, bisa muncul bahkan dari sebuah proses transaksi di suatu pasar tradisional pada suatu hari. Kalau berbelanja lewat aplikasi, pastilah sudah aku berikan bintang lima kepada nenek penjual nyiru ini.

Entahlah, apakah emosi yang seperti itu bisa terwakili oleh emoticon dan bintang-bintang pada suatu pasar digital. Sekalipun memang segala sesuatu tampak dan terasa menjadi lebih mudah di dunia yang seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun