Keteduhan dalam hal ini termasuk dalam arti yang sebenarnya. Dulu masih belum semudah sekarang mendapatkan tenda dan payung, maka yang biasanya digunakan oleh orang Karo untuk membuat peneduh adalah daun nira yang utuh bersama tangkai-tangkai daunnya, ditancapkan ke dalam tanah, dan disusun beberapa tangkai hingga menjadi benar-benar teduh di bawahnya.
6. Buahnya menjadi bahan kolang-kaling
Buah atau biji pohon nira, yang dalam bahasa Karo dinamakan "kelto", dijadikan sebagai bahan pembuatan kolang-kaling. Sajian kolang-kaling ini umumnya ditemukan pada saat hari raya lebaran, atau tahun baruan.
7. Tandan pohon nira yang menghasilkan air nira
Kita mungkin sudah pernah dan biasa meminum air nira, atau tuak nira bagi sebagian. Bisa juga belum sama sekali. Namun, bagi yang sudah biasa pun bisa jadi belum paham betul dari mana air nira itu berasal.
Adalah tandan yang dalam bahasa Karo disebut dengan "rirang pola", yang "dibalbal" atau dipukul-pukul oleh "pengeria". Pengeria adalah sebutan kepada orang yang terampil memanen air nira.
Pengeria yang mengambil air nira, biasanya akan mbalbal (memukul-mukul) tandan atau "rirang pola" seminggu sekali. Hal itu dilakukan berulang-hingga tandannya mencapai kondisi optimum, untuk selanjutnya disayat ujungnya. Dari tandan yang disayat itulah air nira akan mengalir.
Kondisi optimum tandan nira untuk menghasilkan air nira itu dalam bahasa Karo disebut "mbecih terlak." Itu adalah kondisi tandan yang juga sudah berwarna kemerahan.
Ada satu kisah yang tampaknya tak masuk akal, tapi barangkali berdimensi spiritual, Hal itu sehubungan dengan kisah hidup "pengeria."