Bagi sebagian orang yang suka menyaksikan tayangan kehidupan atau petualangan di alam bebas, mungkin sudah paham apa yang dimaksud dengan memancing api. Dulu saat pemantik atau korek api masih belum mudah didapatkan, orang-orang Karo di desa-desa biasa menggunakan serabut-serabut halus, yang disebut "luluk", yang menempel di pohon nira sebagai pemancing api.
Serabut halus itu digulung-gulung, lalu dua buah batu saling dibenturkan untuk memantik percikan api. Percikan itulah yang akan menyulut api pada "luluk" nira yang mudah terbakar itu.
Selain itu, serabutnya yang lebih tebal atau ijuk, dijadikan bahan untuk atap atau sapu ijuk. Terutama pada masa dulu, ijuk adalah bahan untuk atap semua rumah adat Karo.
Â
4. Tangkai daunnya menjadi joran dan sapu lidi
Kaum pria di Tanah Karo, sangat suka memancing ikan. Terutama pada masa lalu, di mana belum begitu banyak hiburan.
Nah, tangkai besar daun nira, atau yang disebut "kedeng" biasa dijadikan joran atau tangkai kail. Hal ini mungkin karena tangkai daunnya yang panjang dan cukup kuat sekaligus fleksibel. Sementara itu, ruas-ruas tangkai daunnya dapat dijadikan sapu lidi.
Dalam sistem sosial hidup suku Karo, ada dikenal istilah "simajekken lape-lape," artinya yang mendirikan tempat berteduh. Itu adalah sebutan untuk peran sosial kekerabatan yang memang fungsinya memberikan keteduhan bagi anggota kerabat yang lain.