Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Lukisan Ibu Bumi di Ufuk Senja

27 Januari 2021   23:44 Diperbarui: 27 Januari 2021   23:53 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Ibu Bumi di Ufuk Senja, Siosar, 27/01/2021 (Dokpri)

April 2011

Aku duduk seorang diri di pojok ruangan sebuah kantor kelurahan berukuran 4x5 meter. Tak lama kemudian, datang seorang ibu membawa berkas hendak mengurus "surat-surat."

Yah, begitulah, bila hendak mengurus "surat-surat." Lazimnya akan membutuhkan paling tidak barang sedikit saja tanya jawab.

Ibu itu hendak mengurus surat keterangan belum kawin dan persetujuan orang tua bagi anaknya yang hendak melamar untuk ikut tes masuk sekolah kedinasan. Surat keterangan dan persetujuan itu harus diketahui dan ditandatangani oleh lurah setempat.

Tanya jawab pun dimulai. Ibu itu bertanya dengan sangat sopan sambil mendekap kantongan plastik yang berisi berkas untuk urusan "surat-surat" anaknya. "Bagaimana sebenarnya, haruskah kami menyiapkan "sesuatu" untuk anakku dapat diterima masuk ke sekolah itu?" ia bertanya.

Aku tak menduga pertanyaannya itu. Persis pertanyaan orang kebanyakan yang aku temui setiap kali akan mengurus "surat-surat." Itu sepanjang aku ketahui, aku dengar dan aku kenang pada masa-masa itu, atau hingga masa kini?

"Apa pekerjaan Ibu dan bapak?" tanyaku.

Si ibu beringsut mendekat ke arah meja yang menjadi pemisah kami di ruangan kecil yang sumpek itu. Sambil membungkukkan badannya ia berkata, "Suami saya lumpuh dan sudah tidak mampu lagi bekerja. Saya sendiri memelihara beberapa ekor ternak babi." Matanya mulai agak berkaca-kaca.

Saya merasakan getaran kasih seorang ibu dalam nada bicaranya. Dinamika rasa yang menyiratkan tindak ketegaran yang luar biasa dalam menantang kerasnya hidup, sekaligus tampak rapuh dalam kata-kata.

"Coba saja dulu untuk anaknya ikut tes Ibu. Niat dan tekad anak Ibu yang akan menjawab pertanyaan Ibu. Mari kita doakan," jawabku setulus mungkin.
"Iya, semoga niat dan tekad anak saya juga akan mendorong bapaknya agar semakin semangat berusaha untuk bisa lekas pulih."

Aku mulai mengetik di blangko surat keterangan. Diketik rangkap dua, digandakan dengan kertas karbon. Gemuruh suara mesin ketik meramaikan beberapa saat kebisuan kami di ruangan yang sumpek itu.

3 bulan kemudian...

Aku tak sengaja membaca sebuah judul berita di koran lokal yang menarik perhatianku. Ada sebuah pengumuman tentang hasil seleksi penerimaan calon peserta didik sebuah sekolah kedinasan. Di sana ikut tertulis sebuah nama yang kemarin aku ketikkan pada blangko surat keterangan belum kawin dan persetujuan orang tuanya sebagai kelengkapan surat lamaran.

Aku tersenyum membayangkan raut wajah ibu setengah baya yang tegar sekaligus tampak rapuh itu. Sesaat kemudian, terlintas wajah ibuku. Momen itu tidak lama, sebab aku membaca koran di kedai kopi.

Pada suatu hari di mana tidak ada hal yang istimewa...

Aku melintas dengan motor, di sebuah ruas jalan menuju batas kelurahan di sebelah Selatan. Baru beberapa hari yang lalu, bersama beberapa orang warga, kami menanami bibit kayu mahoni di sepanjang jalan itu.

Tak sengaja, aku bertemu dengan ibu yang pastinya sangat bersyukur dan berbahagia dengan kabar tentang anaknya, yang sudah diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di sekolah kedinasan idamannya itu. Ibu itu sedang mengangkat ember, sepertinya berisi pakan ternak.

"Selamat ya Ibu, anak Ibu lulus," kataku.

Dia menangis. Aku pun menangis, tapi kami menangis bahagia.

Untuk ibu aku menuliskan di buku diary.

Ibu, keyakinan kami anakmu, air matamulah yang diperhitungkanNya. Tidak semata tekad dan niat kami, sekalipun kami bertekad dan berniat untuk membahagiakanmu juga.

Kepada ibu yang bahkan aku tidak mengenalnya. Dalam keheningan, aku mendoakan anakmu, kalau terlalu berlebihan bila aku mengharapkannya akan menjadi salah seorang abdi negara yang bercita-cita agar di saat matinya nanti, bendera berkibar setengah tiang. Maka, setidaknya ia akan senantiasa menjaga agar air mata bangga darimu tidak akan pernah mengalir dan jatuh sia-sia.

Terima kasih Ibu. Setidaknya air matamu menjadi sebuah cermin bagiku, yang dari sana aku bisa melihat hal-hal yang tak kulihat dari dalam diriku sendiri. Mengingatkanku betapa setiap ibu sesungguhnya selalu mengharapkan yang terbaik untuk anak-anaknya, keluarga, bahkan untuk negaranya. Maka, tak berlebihan bila bapak bangsa ini mengatakan ibu adalah tiang negara.

"Maafkan kami yang sering lupa akan hal itu, Ibu."

Diberkatilah para ibu. Ibu yang mengandung, yang bekerja, ibu negara, ibu rumah tangga, ibukota, ibu pertiwi, ibu bumi, bahkan ibu tiri. Selama ibu tetap kuat menjadi tiang bagi sebuah "rumah" sesuai ukurannya masing-masing, kiranya Tuhan masih tetap mencurahkan belas kasihanNya, yang turut dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.

Sekalipun anak-anak dan seiisi rumah masih saja sering merasa risih untuk sekadar memperkatakan apa yang benar, apa yang jujur, dan apa yang adil, belum lagi untuk melakukannya. Tuhan kiranya masih akan menakar setiap tetes air mata ibu yang jatuh di hadapanNya.

Seperti Shakespeare yang tak memusingkan soal nama, oleh sebab bunga mawar yang tetap akan harum mewangi sekalipun kepadanya diberikan nama yang lain. Begitulah ibu, ia tetaplah sebagaimana adanya ibu.

"What is a name? That which we call a rose by anyother name would smell as sweet." -William Shakespeare

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun