"Penderitaan-penderitaan tidak datang sendirian."
Ungkapan di atas adalah sebuah pepatah sehubungan dengan berbagai penderitaan yang datang bertubi-tubi menimpa kehidupan manusia. Penderitaan itu bisa datang dalam berbagai bentuk.
Dalam lirik sebuah lagu yang berjudul "Tak Satupun" yang diciptakan oleh Herry Priyonggo, penderitaan itu bisa berupa kelaparan, ketelanjangan, aniaya, sakit penyakit, dan pencobaan. Termasuk di dalamnya tentu saja penderitaan akibat bencana alam.
Sebagaimana kita bisa menyaksikannya melalui pemberitaan di berbagai media, bahwa pada paruh perjalanan Januari 2021 ini saja sudah ada beberapa peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia, yang merenggut korban jiwa, dan harta benda, yang menyebabkan kepiluan. Taruhlah misalnya, bencana longsor di Sumedang, Jawa Barat pada 9 Januari.
Kemudian bencana banjir di Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan di Jawa Timur pada 12 Januari, dan banjir di Kalimantan Barat pada 13 Januari. Lalu ada gempa di Sulawesi Barat pada 15 Januari, serta erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur, dan banjir sekaligus tanah longsor di Manado, Sulawesi Utara pada 16 Januari 2021, dan sederet bencana alam lainnya yang terjadi di berbagai tempat yang mungkin luput dari perhatian media.
Namun, kenyataan telah menyingkapkan kepada kita sebuah rahasia untuk bertahan hidup, bahwa kita manusia, akan selalu mampu menjalani dan menanggung penderitaan. Bahkan manusia masih mampu memelihara harapan, ketika ada kasih yang tumbuh dan dibagikan di dalam dan di antara berbagai penderitaan yang menyentuh rasa kemanusiaan.
Ada pandangan yang menganggap bahwa bencana yang mendatangkan penderitaan itu adalah suatu bentuk hukuman dari Tuhan. Pandangan ini bagi saya pribadi sungguh terasa sangat menghakimi.
Mungkin memang benar bahwa ada juga yang mendapatkan musibah karena ulahnya sendiri, sehingga muncul kesadaran ataupun penyadaran bahwa musibah itu mungkin adalah suatu bentuk teguran. Sekali lagi mungkin, relatif, bisa ya bisa juga tidak.
Namun, memvonis orang yang menderita karena mengalami musibah sekaligus sebagai bentuk hukuman, adalah cara pandang yang bisa membuat orang-orang yang menderita merasa terhukum dua kali.
Disadari atau tidak, sebenarnya penderitaan yang datang bertubi-tubi adalah bentuk ujian bagi rasa kemanusiaan kita. Penderitaan akibat kesalahan diri sendiri mungkin akan sepi dari rasa belas kasihan, tapi rasanya mudah membayangkan bahwa sikap welas asih akan lebih bermanfaat mengetuk rasa kemanusiaan ketimbang pengadilan dan hukuman.
Barangkali hanya dengan begitu kita akan mampu memandang bahwa bencana adalah salah satu jenis kenyataan yang tidak terelakkan untuk hadirnya sikap welas asih dan perasaan senasib sepenanggungan dalam kemanusiaan. Nyatanya, bencana itu bisa menimpa siapa saja, manusia yang begini dan begitu, yang baik dan yang tidak, relatif.
Menjadi Manusia Terakhir dalam Relativisme dan Skeptisisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya.
Dalam aspek etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti ini dianut oleh para pengikut yang disebut kaum Skeptik, sebagaimana Protagras dan Pyrrho. Sementara itu, skeptisisme adalah suatu sikap yang memandang segala sesuatu selalu dari sudut pandang ketidakpastian, meragukan, mencurigakan.
Menarik untuk melirik sejenak saja dilema etis dalam hubungan sosial dan konflik mental yang menimpa Kurt, yang disebut sebagai manusia terakhir dalam sebuah film yang berjudul "The Last Man".
Film Kanada yang bergenre sains fiksi yang dirilis pada 18 Januari 2019 ini disutradarai oleh Rodrigo H. Vila, dan dibintangi oleh Hayden Christensen yang berperan sebagai Kurt, dan Harvey Keitel sebagai Noe. Pemeran lainnya adalah Marco Leonardi sebagai Antonio, Liz Solari sebagai Jessica, Justin Kelly sebagai Johnny, dan Rafael Spregelburd sebagai Gomez.
Kurt adalah seorang veteran perang yang menderita trauma akibat kekejaman perang. Ia kehilangan Johnny, rekannya, yang ia yakini terpaksa dia tembak atas permintaan Johnny sendiri demi mengakhiri penderitaannya, karena sekarat terkena tembakan musuh. Kurt yang merasa dihantui Johnny sering berbicara sendiri, seperti orang yang terganggu mentalnya.
Itulah awal perjumpaan Kurt dengan Noe, seorang yang dianggap sebagai pendeta jalanan yang bernubuat tentang hari penghakiman oleh mereka yang percaya. Kurt percaya pada ramalan Noe, dan mulai membangun bungker sebagai persiapannya menghadapi hari terakhir itu.
Adapun "nubuat" atau ramalan Noe didasari pada tren perubahan iklim dan cuaca ekstrem tak menentu yang mengakibatkan terjadinya bencana alam di berbagai tempat di dunia. Padahal ramalan cuaca bisa juga dikatakan sebagai perkiraan dengan tingkat kemungkinan terjadinya yang tentu saja tidaklah absolut.
Ramalan cuaca sebagai perkiraan dan penilaian atas berbagai variabel menggunakan parameter terukur dengan tingkat kepastian yang relatif, bisa terjadi, bisa juga tidak. Ramalan cuaca bukanlah nubuat, sebab nubuat adalah kebenaran tak terbantahkan yang mendahului kenyataan.
Bagi orang yang tidak percaya, Noe tentu saja terlihat seperti orang aneh, yang hanya terhubung dengan orang-orang yang mencurahkan perhatian pada keyakinannya yang sama, sekali pun itu tampak relatif. Menurut Noe, hari-hari kini menjelang terjadinya suatu badai matahari yang merupakan badai listrik yang hebat dan melepaskan gas-gas beracun di atmosfer bumi.
Kata Noe, hanya dengan tidak tergantung pada teknologi dan listrik, mereka akan bisa bertahan menghadapi bencana alam terburuk. Untuk itu Kurt menjual semua perabot, menarik semua tabungan dan menutup rekening banknya, dia membangun bungker untuk dirinya sendiri.
Kurt, yang percaya pada ramalan itu, juga masih menyisakan perasaan skeptis dalam dirinya. Ia masih juga melamar pekerjaan di sebuah perusahaan kemanan, dan diterima sebagai petugas pemeliharaan.
Meskipun percaya pada datangnya hari terakhir yang sudah sangat dekat, dalil yang mendorongnya untuk percaya bahwa masih perlu untuk bekerja adalah karena bagaimana pun ia masih perlu persediaan, dan untuk memiliki persediaan diperlukan uang, dan untuk memperoleh uang ia perlu bekerja. Ia pun jatuh cinta pada putri bosnya, Jessica, hingga akhirnya bungker yang awalnya untuk dirinya sendiri itu tentu saja menjadi untuk mereka berdua.
Dilema etis dalam hubungan sosial dan konflik mental yang menimpa Kurt, berlangsung selama 12.979 hari yang dipenuhi malam-malam dengan trauma yang menghantui, hingga akhirnya ramalan itu terjadi. Jessica adalah variabel yang tidak terduga, ia adalah partikel cinta, tapi juga justru menjadi "umpan" yang berhasil menjebloskan Kurt ke rumah sakit jiwa. Sebab ternyata bumi masih bertahan, hari terakhir itu tampaknya tidak akan pernah datang, atau setidaknya masih jauh dari kenyataan.
Kurt menyadari ada yang salah tentang dirinya, tapi yakin sekali kalau dia tidak gila. Yah, begitulah kita, seringkali salah meyakini sesuatu, atau bisa juga memiliki keyakinan yang salah.
Noe ditangkap atas sangkaan kasus penipuan. Sebab lebih banyak orang yang tidak percaya bahwa dunia akan segera berakhir. Badai besar memang benar ada, tapi tidak mengakhiri dunia dengan bencana yang mendadak.
Setidaknya Kurt sempat memberi sedikit catatan penutup sebelum filmnya tamat, "Semua orang berpura-pura, seolah uang berguna saat kiamat menghadang. Setidaknya aku tidak berpura-pura, bahwa benar ada yang salah dengan diriku, tapi aku tidak gila."
Jangan-jangan kita memang sudah lama tak menjalani hidup, tapi hanya sekadar bertahan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H