Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Lady Improper", Pelajaran Penting tentang "Globesitas" Pikiran yang Membunuh Perasaan

15 Januari 2021   12:58 Diperbarui: 17 Januari 2021   17:30 6969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Lady Improper (2019). | Sumber: Emperor Motion Pictures via www.rottentomatoes.com

Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), pernah membuat sebuah proyeksi bahwa 700 juta orang di seluruh dunia akan menjadi golongan obesitas pada tahun 2015. 

Pada tahun-tahun belakangan ini, pasca proyeksi itu, ramalan itu mungkin telah menjadi kenyataan atau bahkan melampauinya. Obesitas telah menjadi masalah global, dalam bahasa Ben Dupre, diistilahkan dengan "globesitas."

Namun, kali ini kita bukan membahas tentang masalah obesitas global dalam makna sebenarnya, yang tentu saja terkait dengan kegemukan tubuh fisik manusia. Melainkan terkait tentang kegemukan pikiran, bila pikiran bisa digambarkan sebagai sebuah bentuk tubuh manusia yang lain.

Tidakkah patut untuk merenungkan bahwa manusia pada zaman ini sudah semakin kegemukan (baca: kebanyakan) pikiran, sehingga oleh karenanya jenis kegemukan yang satu ini juga menjadi salah satu jenis ancaman utama kehidupan? 

Sama halnya, kalau dulu banyak orang mati kelaparan karena kekurangan makan, maka kini banyak penyakit yang berisiko tinggi menyebabkan kematian justru karena manusia yang kelebihan makan. Mengapa tidak hal yang sama terjadi akibat kebanyakan pikiran?

Semakin maju zaman, semakin bertambah kecemasan dan penderitaan. Kesaksian perasaan tentang hal ini pun sudah tercatat dalam Alkitab. Lihat misalnya pada kitab Pengkhotbah pasal 1 ayat 18. 

Di sana dikatakan "Karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan." Mungkin di kitab-kitab lain juga ada nasihat dan peringatan yang sejajar dengan pengakuan perasaan ini.

Belajar Menyeimbangkan Pikiran dan Perasaan

Visualisasi dan narasi yang menarik tentang dilema antara pikiran dan perasaan ini, dapat kita tonton salah satunya dari sebuah film drama Hongkong berjudul "The Lady Improper" yang terinspirasi dari sebuah kisah nyata. 

Film yang disutradari oleh Tsui Shan Tsang dan dirilis pertama kali pada 4 April 2019 ini, dibintangi oleh Charlene Choi yang merupakan pemeran utama dan berperan sebagai Yuen Siu Man.

Sementara itu beberapa pemeran pendukung antara lain, Chris Wu sebagai Jia Hao, Hedwig Tam sebagai Moon, Tai Bo sebagai Paman Keung, Alex Lam sebagai Ah Him, Cecilia Yip sebagai Lin, dan Tony Liu sebagai pemilik bar. 

Film ini secara garis besar berkisah tentang pencarian jati diri manusia, dibungkus oleh balutan kisah romantika kehidupan rumah tangga, hubungan asmara, hubungan anak dan orang tua, dan kisah inspiratif sekelompok orang yang terjadi di sebuah restoran Tiongkok bernama Wing Kee. 

Film ini kurang cocok ditonton oleh yang berusia di bawah 18 tahun, karena beberapa tayangan dewasa yang membutuhkan kebijaksanaan dari penonton.

Siu Man adalah seorang wanita yang pernah menikah, tapi pernikahannya kandas dalam suatu perceraian. Ia seorang perawat yang mendapati dirinya seperti merasa kehilangan jati diri karena didera berbagai persoalan hidup.

Selain masalah perceraiannya, ayahnya yang dulunya mengelola restoran dan sekaligus menjadi juru masaknya, kini jatuh sakit. Siu Man yang tidak memiliki keahlian masak-memasak kini mengelola restoran ayahnya, yang sudah tampak seperti hidup segan mati tak mau itu.

Hingga akhirnya Jia Hao, seorang koki restoran yang mendapatkan pendidikan di Prancis, bekerja di restoran itu. Jia Hao yang memasak dengan penuh perasaan dan selalu menggali makna filosofi di balik setiap resep makanan, berhasil memasak dua sajian khas restoran Wing Kee, yang sudah lama menghilang seiring dengan sakitnya ayah Siu Man. 

Dulunya, Jia Hao dan ibunya semasa masih hidup, sering makan di restoran ini.

Dalam beberapa kali kejadian di dapur, Siu Man yang awalnya bersikap kaku dan trauma dengan hubungan asmara akibat masa lalunya, luluh hatinya dalam rengkuhan kelemahlembutan dan sikap terbuka seorang Jia Hao, yang mendapatkan pendidikan di sekitar lingkungan perasaan bernuansa liberal seperti di Prancis. Tentu saja jatuh hati juga kepada masakan enak Jia Hao.

Dalam sebuah kesempatan di dapur restoran itu, Jia Hao menghibur dan menenangkan hati Siu Man yang mengalami histeria akibat kenangan masa lalu dengan mantan suaminya. 

Kata Jia Hao, mengutip nasihat mentornya, "Memasak itu seperti kehidupan. Sebagian orang lebih beruntung daripada yang lain. Tak peduli seberapa banyak kita mengalami kegagalan. Selama kita masih mau berusaha, masih akan ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan."

Siu Man yang hari itu mencoba memasak dengan penuh emosi guna melampiaskan trauma perasaannya, hampir saja mencelakai dirinya dengan minyak panas di penggorengan. Jia Hao menasihati sambil memeluknya, katanya "Jangan lampiaskan kemarahan pada makanan."

Nasihat itu barangkali bisa ditafsirkan dengan diikuti sebuah pesan moral, bahwa di balik suatu kemarahan ada setumpuk beban pikiran yang kelebihan muatan, dan oleh karenanya perlu dikurangi dengan memberi porsi yang cukup dan memadai bagi tumbuh berseminya suatu perasaan penuh cinta dan kasih sayang.

Baca juga: Apakah Kita adalah Apa yang Kita Makan?

Pikiran dan Perasaan pada Dunia dalam Genggaman

Dari film ini kita bisa memperoleh suatu refleksi kehidupan yang meskipun tampak sepele sering luput dari perhatian manusia modern yang hidup dalam kesibukan, yang didukung oleh teknologi komunikasi dan informasi yang mutakhir. 

Taruhlah misalnya isu tentang ancaman privasi dalam komunikasi lewat Whatsapp, yang konon akan diterapkan per tanggal 8 Februari 2021 nanti.

Ada ironi dan paradoks, saat kelihatannya dunia semakin menyeramkan manakala pengetahuan semakin digali. Bagaimana tidak, bila manusia sudah semakin dipandang dan ditempatkan sebatas entitas suatu produk. 

Apa yang terbayang adalah "kita" hanya menjadi sekadar komoditi dan media komunikasi sebagai pasarnya. Pasar tempat terjadinya perdagangan, proses jual beli, dan siapa mendapatkan apa.

Sebagai penyeimbang atas kecemasan yang bisa saja semakin menjadi-jadi, makanya lagu-lagu dan doa-doa, yang mungkin tampak kolot dan kuno justru tampaknya menjadi semakin aktual di sebuah dunia yang rapuh. 

Lagu-lagu dan doa-doa yang dimaksudkan bukan sekadar lagu-lagu dan doa-doa yang ada kata Tuhan di dalamnya. Namun, untaian perasaan yang melampaui hanya sekadar pikiran, yang tak jarang justru menjerumuskan kita tenggelam ke pusat semesta dengan segala persoalan di dalamnya.

Kita mungkin saja berpikir bahwa diri kita yang hanya bagai noktah kecil dan nyaris tak berarti dalam luasnya samudra kehidupan dan segala pernak-perniknya, tidak bisa terlepas atau bahkan tunduk kepada hukum hubungan-hubungan sebagai bagian komunitas global, yang kini hidup dalam dunia media komunikasi. 

Dalam ironi dan paradoks, manusia masa kini justru memindahkan hidupnya ke dalam genggaman tangannya sendiri, pada sebuah telepon pintar.

Inilah dilema sosial pertama. Bagi seorang narablog (blogger) misalnya, kehadiran media komunikasi, termasuk media sosial sangat diperlukan untuk membagikan pikiran-pikirannya lewat sebuah tulisan atau artikel. 

Entah demi dalih untuk aktualisasi diri, membagikan kebaikan, atau pun demi alasan praktis untuk menambah jumlah keterbacaan.

Meskipun seringkali juga ternyata, jumlah respons di media sosial tidak seiring sejalan dengan jumlah pembaca atau sekadar mengklik untuk membuka utas (link) artikel. 

Rasanya hampir segala hal kini hanya sekilas saja dilirik orang, tanpa terlalu peduli apa yang ada dan terjadi di dalamnya.

Dilema sosial kedua. Selain segala hal dalam kilasan yang berlalu terburu-buru itu, pedagang pun sekarang tampaknya memang sudah semakin menggeser pasarnya ke dunia dalam genggaman. Mereka yang berdagang "merasa" sangat terdukung oleh perdagangan yang terjadi di media sosial.

Kita dengan pengetahuan kita, memang menciptakan ironi dan paradoks untuk diri kita sendiri, selain tentu saja oleh mereka di luar diri kita yang mungkin juga tampak lebih berkuasa atas diri kita sendiri. Kita saling berpacu untuk mengejar apa yang justru kita takutkan sendiri, dengan pikiran kita yang kegemukan, tapi juga semakin ekonomis dalam perasaan.

Sejak standar budaya semakin tampak menjadi sebuah ukuran tunggal dalam sebuah desa global, menurut istilah Marshall McLuhan, melalui makanan-makanan cepat saji yang diciptakan oleh insdustri, maka dalam banyak hal saat ini, hidup terlihat seolah adalah untuk makan. 

Paralel dengan penjelasan ini, kita memberi beban pikiran cepat saji sebagai asupan makanan kepada otak dalam tempurung kepala kita yang memiliki dimensi batas-batas.

Sebuah fakta perubahan cepat yang terjadi secara mengesankan pada masa kini dan belum pernah terbayangkan pada abad-abad sebelumnya menurut Marshall adalah "berhentinya waktu" dan "hilangnya jarak." Waktu dan jarak menciut berkat teknologi informasi.

Dalam budaya kontemporer dengan waktu dan ruang yang menciut, budaya global rentan menggerus nilai-nilai lokal yang tradisionil, yang berhubungan dengan adat istiadat dan budaya. Bagi sebagiannya, tradisi, adat, dan budaya telah dianggap sebagai hal yang terlalu mempersulit, rumit, kolot dan ketinggalan zaman.

Padahal tradisi, adat, dan budaya nenek moyang manusia telah terbukti berhasil menjembatani waktu dan jarak, serta mengantarkan nenek moyang manusia selamat melintasi zaman. Mulai dari zaman batu sampai manusia berhasil menjejak bulan.

Kegemukan, tidak saja dalam artian fisik, tapi juga pikiran, adalah musuh dari kecepatan. Namun, jangan-jangan konsep kecepatan kini pun sudah melampaui pemahaman dalam waktu dan jarak yang menciut. Manusia memiliki keingintahuan yang tidak terbatas dalam pemahamannya yang terbatas.

Pesan Penting sebagai Renungan

Pesan penting lain sebagai refleksi dari kenyataan dilema sosial masa kini, termasuk dari cerminan globesitas pikiran yang mengalahkan perasaan dalam film "The Lady Improper" ini adalah bahwa perlu bagi kita untuk selalu menjaga kesehatan, mengutamakan keselamatan, dan berserah kepada Tuhan.

Di masa pandemi seperti ini, bisa tampak melalui langkah nyata, dengan memakai masker, menghindari kerumumann, waspada bila harus bepergian, rajin mencuci tangan, dan arif dalam memilah hal-hal yang perlu dipikirkan.

Semoga tahun ini tetap menjadi tahun kemurahan Tuhan bagi kita sekalian. Setidaknya dari tahun 2020, kita semakin bisa mendapatkan pelajaran bahwa kesehatan adalah investasi yang paling mahal dan paling berharga bagi kita semua. Tetap sehat, pikiran dan perasaan, dan tetap semangat.

Rujukan: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun