Dari film ini kita bisa memperoleh suatu refleksi kehidupan yang meskipun tampak sepele sering luput dari perhatian manusia modern yang hidup dalam kesibukan, yang didukung oleh teknologi komunikasi dan informasi yang mutakhir.Â
Taruhlah misalnya isu tentang ancaman privasi dalam komunikasi lewat Whatsapp, yang konon akan diterapkan per tanggal 8 Februari 2021 nanti.
Ada ironi dan paradoks, saat kelihatannya dunia semakin menyeramkan manakala pengetahuan semakin digali. Bagaimana tidak, bila manusia sudah semakin dipandang dan ditempatkan sebatas entitas suatu produk.Â
Apa yang terbayang adalah "kita" hanya menjadi sekadar komoditi dan media komunikasi sebagai pasarnya. Pasar tempat terjadinya perdagangan, proses jual beli, dan siapa mendapatkan apa.
Sebagai penyeimbang atas kecemasan yang bisa saja semakin menjadi-jadi, makanya lagu-lagu dan doa-doa, yang mungkin tampak kolot dan kuno justru tampaknya menjadi semakin aktual di sebuah dunia yang rapuh.Â
Lagu-lagu dan doa-doa yang dimaksudkan bukan sekadar lagu-lagu dan doa-doa yang ada kata Tuhan di dalamnya. Namun, untaian perasaan yang melampaui hanya sekadar pikiran, yang tak jarang justru menjerumuskan kita tenggelam ke pusat semesta dengan segala persoalan di dalamnya.
Kita mungkin saja berpikir bahwa diri kita yang hanya bagai noktah kecil dan nyaris tak berarti dalam luasnya samudra kehidupan dan segala pernak-perniknya, tidak bisa terlepas atau bahkan tunduk kepada hukum hubungan-hubungan sebagai bagian komunitas global, yang kini hidup dalam dunia media komunikasi.Â
Dalam ironi dan paradoks, manusia masa kini justru memindahkan hidupnya ke dalam genggaman tangannya sendiri, pada sebuah telepon pintar.
Inilah dilema sosial pertama. Bagi seorang narablog (blogger) misalnya, kehadiran media komunikasi, termasuk media sosial sangat diperlukan untuk membagikan pikiran-pikirannya lewat sebuah tulisan atau artikel.Â
Entah demi dalih untuk aktualisasi diri, membagikan kebaikan, atau pun demi alasan praktis untuk menambah jumlah keterbacaan.
Meskipun seringkali juga ternyata, jumlah respons di media sosial tidak seiring sejalan dengan jumlah pembaca atau sekadar mengklik untuk membuka utas (link) artikel.Â