Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Aku Ketawa Maka Aku Ada

26 Desember 2020   19:21 Diperbarui: 29 April 2021   07:44 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustasi tertawa bersama. (Sumber foto by Ketut Subiyanto from Pexels)

Adakah manusia yang tidak pernah ketawa atau tertawa selama hidupnya? Saya tidak bisa memastikan jawabannya. Namun, bila pertanyaannya adalah apakah kita perlu tertawa dalam hidup ini? Jelas, menurut saya pribadi perlu sekali.

Benar bahwa kita tidak kurang banyak mengalami kesedihan, kepahitan, kegetiran dan penderitaan dalam hidup. Namun, hal itu semua, sadar atau tanpa kita sadari telah memberi kita bekal lebih dari cukup untuk menjalani hidup. Bahwa untuk semua hal di bawah kolong langit ini ada waktunya.

Masakan kita harus bersedih atau tegang melulu? Namun, pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan itu hendaknya memberi kita pelajaran agar tidak tertawa berlebihan di masa suka, karena mungkin akan datang juga waktunya kita bersedih di masa duka.

Adalah seorang Ernest Jones, sang penulis biografi lengkap dari salah satu tokoh psikoanalisis, Sigmund Freud. Ia mencatat bahwa Freud adalah seorang pembaca yang hebat. Dia membaca agar dapat berbagi ketertarikannya dengan Martha, kekasihnya.

Freud pernah mengirimkan satu set salinan novel edisi cetakan mewah yang sangat diidam-idamkannya ke Martha, yang dia dapatkan dari Herzig, temannya. Novel itu adalah hadiah penghormatan Herzig kepada Freud yang jenius tapi miskin.

Freud mengirimkan salinan novel itu ke Martha dengan menuliskan sebuah ucapan, "Tidakkah kamu menemukan sesuatu yang menyentuh ketika membaca bagaimana seorang yang hebat, idealis, dibuat lucu karena idealismenya sendiri?" 

Sebelum kita beruntung untuk dapat memahami kedalaman cinta sejati kita, kita semua merupakan para ksatria mulia yang menjelajahi dunia dan terperangkap dalam mimpi, menyalahartikan hal yang paling sederhana sekalipun, membesar-besarkan sebuah kejadian dan tempat, lalu kemudian terciptalah sebuah sosok menyedihkan. 

Itulah sebabnya kita manusia, selalu membaca dengan hormat mengenai apa yang telah kita lakukan dan ada bagian yang selalu kita ingat."

Ya, benar. Hidup terlalu singkat dan menjadi sia-sia apabila hanya dihabiskan untuk saling curiga, saling membenci, saling menghujat dan saling mencaci-maki. Begitu juga dalam kehidupan berbangsa, Indonesia butuh ketawa.

Kita sudah menghafal benar sebuah syair lagu dari grup band God Bless dengan vokalisnya Ahmad Albar, bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Maka seharusnya kita tidak lagi merasa heran, apabila ada yang sering mengatakan kebenaran, tapi dia sendiri belum tentu benar. Anggap saja dia bercanda, jangan tegang.

Suka atau tidak suka, kita hidup dalam kenyataan yang terkadang lebih dramatis dari sandiwara. Sangat disayangkan, apabila orang yang sadar dan memahami situasi sebagaimana adanya, tapi masih saja memilih menjadi aktor mabuk pada panggung sandiwara, dan merepet di atas panggung saat ia gagal melagak.

Kemudian membawa serta orang-orang, para penonton yang kebingungan bahkan tampak sebagai orang bodoh, hingga dunia penuh kebisingan dan kemarahan berjalan-jalan bersamanya. Kita kurang bercanda.

Ketegangan yang berlebihan dan kurangnya candaan, mengakibatkan hilangnya salah satu etika dalam hidup, tertawa. Bukankah aneh bila menjadi manusia kita hanya bisa menangis, marah, meraung, mengumpat, tapi lupa bagaimana caranya tertawa? Tanpa tawa, belum lengkap rasanya menjadi manusia. Atau bisa dibilang manusia setengah jadi.

Mengapa? Sebab, tanpa tangisan, kemarahan, raungan dan umpatan yang memekakkan telinga pun, manusia kemudian akan hilang, lenyap, mati pada hari berikutnya.

Mungkin agak konyol kedengarannya, tapi bila memang demikian kenyataannya, bukankah akan lebih baik bila kita menertawakan kehidupan, dari pada kehidupan menertawakan kita?

Bila kita menjumpai manusia yang berada dalam kesadaran yang sebaliknya, lebih memilih tangisan, kemarahan, raungan dan umpatan yang memekkkan telinga, ketimbang tertawa, atau bahkan kita sendiri yang demikian adanya, lalu apa sebenarnya yang kita inginkan? 

Bukankah penulis dan pembaca sudah sekian lamanya menjalani hidup ini? Jangan-jangan memang kebutuhan dasar kita tidak atau belum terpenuhi, Indonesia butuh ketawa.

Bila ketawa memang adalah salah satu etika hidup dan kebutuhan dasar manusia (sebab susah membayangkan ada manusia yang diciptakan setengah jadi dalam sosok tanpa tawa, tanpa selera humor), maka akan mudah memahami apa yang akan terjadi kemudian apabila kebutuhan dasar tidak tercukupi. 

Mata hati yang dibutakan tanpa tawa akan melahirkan sosok diri yang menggemaskan sekaligus menggelikan, meskipun itu sama sekali tidak lucu. Tertawalah sebelum dunia menertawakan kita.

Apa yang dijelaskan di atas akan tampak jelas dalam sebuah gambaran hasil candaan seorang bapak yang duduk di kedai kopi kampung kami berikut ini. "Kalau kita digigit anjing, bukan berarti kita balas menggigitnya. Itu hanya akan membuat mulut kita berbulu."

Ada sebuah ajaran hidup yang disampaikan oleh filsuf Tiongkok kuno, bernama Wen Tian Xiang, bahwa "Hidup manusia tidak bisa menghindar dari kematian, maka selama hidup tinggalkan ketulusan hati, sinari dan harumkan riwayat hidup."

Wen Tian Xiang melanjutkan, bahwa sifat awal setiap manusia adalah baik, tetapi karena pengaruh lingkungan, manusia berubah menjadi jahat. Setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk dalam dirinya.

Maka apabila kita masih memiliki kesempatan dalam hidup, itu sebenarnya hanya karena masih ada yang bermurah hati dan sabar terhadap kelucuan kita yang menyedihkan. Maka rasanya akan menjadi sungguh sangat lucu apabila masih ada orang yang bermegah dalam kekonyolannya.

Momen menjelang akhir tahun biasanya banyak diisi oleh narasi-narasi refleksi. Evaluasi atas hal yang telah dilalui, sembari menyiapkan resolusi untuk hari depan yang akan segera datang. Dalam mekanisme siklus tahunan ini sudah jelas akan bersangkut paut dengan perencanaan.

Apa yang Direncanakan?

Perencanaan bisa dimaknai sebagai tindakan memikirkan siapa dan apa yang dibicarakan, lalu berusaha sekuat tenaga sehingga seolah merasa mampu memandang gambaran yang bahkan sama sekali tidak atau belum terpampang.

Jadi jangan bersedih bila ada yang tidak atau belum tercapai bila tiba saatnya rencana dievaluasi nanti. Lebih baik ketawa. Sebab rencana bukanlah kenyataan.

Namun, ada juga yang mampu menyiasati kesedihan menjadi tontonan yang menyenangkan. Itu adalah orang-orang yang bekerja dalam observasi partisipatif perencanaan di belakang layar. Orang di balik layar, begitulah.

Pekerja jenis ini, dimungkinkan mampu menikmati pertunjukan tanpa kekakuan. Mereka tidak perlu malu bila ingin menangis saat jalan cerita di panggung utama adalah kisah yang menyedihkan, atau tertawa lepas saat jalan ceritanya penuh kekonyolan.

Pertunjukan di balik layar sepi penonton. Pada pertunjukan jenis ini subjek justru menjadi aktor yang ikut menonton para penonton.

Oleh sebab itu, tidak salah merencanakan untuk tidak menjadi aktor/aktris utama dalam kehidupan. Tidak berhasil, gagal, anggap saja sebagai kehilangan yang tidak seberapa. 

Bila memungkinkan, anggap saja tidak kehilangan apa-apa. Sebab kita jadi sadar bahwa diri bukan aktor/ aktris utama, atau bahkan bukan siapa-siapa.

Mudah untuk diucapkan, tapi mungkin sulit dijalankan. Itu biasa, Kawan! Namanya juga hidup. Bila semua hal mudah dalam hidup, mungkin itu bukan di bumi, tapi di surga. Silakan tertawa.

Oh ya, ini ada satu contoh kisah lelucon dalam sandiwara kehidupan. Kisah ini mungkin bisa membantu untuk tetap memungkinkan kita merasa pantas menjadi manusia. 

Ya, manusia yang tidak sempurna. Sebab ternyata, tidak semua hal semestinya dipandang sebagaimana ia kelihatannya, kalau tidak mau membebani diri sendiri dan terlahir menjadi setengah manusia yang tak mampu ketawa.

Aku Ketawa Maka Aku Ada

Adalah nenek Emily, salah satu karakter dalam novel berjudul "Rahasia Sang Ibu Negara" yang ditulis oleh Curtis Sittenfeld. Nenek Emily adalah wanita tua yang senang membaca, utamanya novel dan buku filsafat.

Ia mempunyai sifat berterus terang dalam mengemukakan pikirannya, berpikiran praktis dan suka merokok. Di hadapannya yang bijak, Alice cucunya seringkali merasa terintimidasi oleh intelektualitas dan kebajikannya. Walaupun Alice juga merasakan bahwa neneknya sangat menyayanginya.

Sampul Buku Rahasia Sang Ibu Negara (Dokpri)
Sampul Buku Rahasia Sang Ibu Negara (Dokpri)
Alice sempat tersinggung dengan sikap meledek dari nenek Emily terkait pandangan politiknya sebagai seorang Demokrat, sementara neneknya mengetahui kalau Charlie, pacar Alice, yang kemudian menjadi suaminya adalah seorang Republikan sejati.

Namun, Alice tidak kehilangan gairah untuk tetap menjadi manusia seutuhnya. Terutama karena ternyata di balik penampilan nenek Emily yang intelek, Alice cucunya cukup yakin kalau nenek Emily adalah seorang penyuka sesama jenis. Alice pernah memergoki neneknya berciuman dengan dokter Waycomb, seorang nenek tua yang gemuk dan menjadi semacam dokter pribadi kepercayaan neneknya.

Nenek Emily mengakui kebenaran terkait orientasi seksualnya yang tidak biasa. Pengakuan ini malah membuat Charlie pacar Alice tertawa terbahak-bahak, seolah mendapatkan pelipur lara bagi ketersinggungannya atas sikap nenek Emily yang penuh penghakiman terhadapnya. Sikap nenek Emily menjadi lebih hangat kepada Alice dan Charlie setelahnya.

Kenyataannya, dalam kehidupan ini memang bisa saja ada orang yang cebok dengan tangan kanannya. Sebab mitos yang diwarisi manusia sejak usia kanak-kanak bahwa "tangan bagus" adalah tangan kanan mungkin hanya berlaku bagi sebagian besar orang "normal" kebanyakan. Sementara itu, bagi sebagian lainnya, "tangan bagus" mungkin tangan kirinya, dan itu tidak kurang normal.

Di atas semuanya, kita serahkan saja segalanya kepada Dia sang pemilik segala waktu, karena kita tidak akan pernah mampu membuat pertahanan diri kita sendiri. Tertawalah bila itu memang disiapkan untuk ditertawakan. Bahkan bila memang bukan, jangan lupa untuk tetap tertawa, karena kita manusia.

Tulisan ini selain untuk diriku sendiri yang masih belajar menertawakan diri sendiri, juga untuk teman-temanku yang kukasihi di jalan-jalan, gang-gang, dan sudut-sudut kota, di mana saja. 

Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat mereka sekalian. Sebab dari mereka aku belajar untuk tidak pernah lupa tertawa. Aku Ketawa Maka Aku Ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun