Oh ya, ini ada satu contoh kisah lelucon dalam sandiwara kehidupan. Kisah ini mungkin bisa membantu untuk tetap memungkinkan kita merasa pantas menjadi manusia.Â
Ya, manusia yang tidak sempurna. Sebab ternyata, tidak semua hal semestinya dipandang sebagaimana ia kelihatannya, kalau tidak mau membebani diri sendiri dan terlahir menjadi setengah manusia yang tak mampu ketawa.
Aku Ketawa Maka Aku Ada
Adalah nenek Emily, salah satu karakter dalam novel berjudul "Rahasia Sang Ibu Negara" yang ditulis oleh Curtis Sittenfeld. Nenek Emily adalah wanita tua yang senang membaca, utamanya novel dan buku filsafat.
Ia mempunyai sifat berterus terang dalam mengemukakan pikirannya, berpikiran praktis dan suka merokok. Di hadapannya yang bijak, Alice cucunya seringkali merasa terintimidasi oleh intelektualitas dan kebajikannya. Walaupun Alice juga merasakan bahwa neneknya sangat menyayanginya.
Namun, Alice tidak kehilangan gairah untuk tetap menjadi manusia seutuhnya. Terutama karena ternyata di balik penampilan nenek Emily yang intelek, Alice cucunya cukup yakin kalau nenek Emily adalah seorang penyuka sesama jenis. Alice pernah memergoki neneknya berciuman dengan dokter Waycomb, seorang nenek tua yang gemuk dan menjadi semacam dokter pribadi kepercayaan neneknya.
Nenek Emily mengakui kebenaran terkait orientasi seksualnya yang tidak biasa. Pengakuan ini malah membuat Charlie pacar Alice tertawa terbahak-bahak, seolah mendapatkan pelipur lara bagi ketersinggungannya atas sikap nenek Emily yang penuh penghakiman terhadapnya. Sikap nenek Emily menjadi lebih hangat kepada Alice dan Charlie setelahnya.
Kenyataannya, dalam kehidupan ini memang bisa saja ada orang yang cebok dengan tangan kanannya. Sebab mitos yang diwarisi manusia sejak usia kanak-kanak bahwa "tangan bagus" adalah tangan kanan mungkin hanya berlaku bagi sebagian besar orang "normal" kebanyakan. Sementara itu, bagi sebagian lainnya, "tangan bagus" mungkin tangan kirinya, dan itu tidak kurang normal.
Di atas semuanya, kita serahkan saja segalanya kepada Dia sang pemilik segala waktu, karena kita tidak akan pernah mampu membuat pertahanan diri kita sendiri. Tertawalah bila itu memang disiapkan untuk ditertawakan. Bahkan bila memang bukan, jangan lupa untuk tetap tertawa, karena kita manusia.
Tulisan ini selain untuk diriku sendiri yang masih belajar menertawakan diri sendiri, juga untuk teman-temanku yang kukasihi di jalan-jalan, gang-gang, dan sudut-sudut kota, di mana saja.Â